Rss Feed
  1. Belajar dari Tan Malaka

    Sabtu, 02 Juli 2011

    Pendidikan adalah membangun proses berpikir, membudayakan dialektika, dan menghaluskan perasaan –Tan Malaka–

    Bayangkan apa jadinya peradaban manusia tanpa adanya pendidikan. Pendidikan yang saya maksud tak hanya pendidikan formal, tapi juga pendidikan nonformal. Pada dasarnya, manusia memang harus dididik.

    Indonesia memiliki lembaga pendidikan formal. Bukan cuma Indonesia, seluruh negara di dunia ini pastilah punya lembaga pendidikan formal. Tujuannya apa? Untuk menciptakan manusia-manusia yang bermutu.

    Pertanyaannya adalah sudahkah lembaga pendidikan di Indonesia benar-benar membangun proses berpikir, membudayakan dialektika, dan menghaluskan perasaan? Barangkali boleh saya bilang ‘tidak’.

    Menurut Tan Malaka, proses pembelajaran itu harus menyenangkan. Meminimalkan proses ceramah, dan tidak sekedar mendistribusikan pengetahuan. Namun proses pembelajaran semestinya memproduksi pengetahuan. Bagaimana Indonesia bisa memproduksi pengetahuan kalau peserta didik hanya dijadikan mesin penghafal?

    Guru atau dosen hanya menjadi mesin distribusi, mentransfer pengetahuan yang sudah ada kepada seluruh peserta didik. Kemudian, pengetahuan yang sudah didistribusikan tersebut haruslah dihafal oleh peserta didik. Di akhir semester, digelar ujian. Peserta didik harus menuliskan kembali pengetahuan yang sudah dihafalnya.

    Seluruh pemikiran ilmuwan Barat dilahap bulat-bulat. Tanpa filter, tanpa kritisi, tanpa proses dialektika. Ya bagaimana bisa mengkritisi, kalau budaya yang diciptakan sekolah dan perguruan tinggi hanyalah budaya menghafal?

    Di kampus atau sekolah, guru dan dosen bertindak seperti diktator. Semua aturan dalam proses belajar mengajar diatur secara sepihak. Contoh sederhana, peserta didik dilarang makan selama proses belajar mengajar, dilarang datang terlambat, dilarang mengeluarkan baju, dilarang pakai sendal, dilarang memanjangkan rambut, dilarang ini, dilarang itu.

    Tak ada kesepakatan sebelumnya, aturan itu dibuat begitu saja, dan pastinya larangan itu tak berlaku bagi si dosen atau guru itu sendiri. Tak apa jika mereka datang terlambat, tak apa jika mereka makan di kelas, pakai sandal, mengangkat telepon, dan sebagainya. Pokoknya ya begitu. Tak boleh protes, tak boleh dikritisi. Peserta didik pun ikut saja aturan-aturan sepihak itu. Alasannya hanya satu, agar mendapat nilai bagus.

    Tan Malaka meyakini, peserta didik haruslah diberi kepercayaan dan kemerdekaan untuk mengatur segala urusannya di sekolah sesuai aturan yang disepakati bersama. Apa yang diyakini Tan Malaka itu, tak pernah saya rasakan hingga saat ini saya duduk di perguruan tinggi. Saya tak pernah diajarkan untuk berpikir merdeka dan merdeka dalam berpikir.

    Saya jadi ingat sebuah pertemuan dengan Butet Manurung—perempuan yang merelakan waktunya untuk memberi pendidikan bagi anak-anak Suku Anak Dalam di Jambi—Februari tahun lalu. “Anak rimba itu lebih kritis daripada anak kota,” papar Butet.

    Butet menceritakan mereka selalu menanyakan segala hal. Termasuk pertanyaan “Untuk apa kami belajar perkalian? Kami kan sudah bisa penjumlahan.” Butet lalu menjelaskan tentang konsep perkalian, tapi tetap saja anak-anak itu tidak mau belajar perkalian. Alasan mereka cukup logis, “Kami sudah bisa penjumlahan, kalau banyak, ya kami jumlahkan saja.” Butet pun memutuskan untuk tak mengajarkan perkalian.

    Sampai suatu hari, anak-anak itu merasa kesulitan menghitung ketika berbelanja di Pasar—karena jumlah item belanjaan yang banyak. Mereka ingat penjelasan Butet tentang perkalian, lantas mereka setuju untuk diajarkan perkalian oleh Butet.

    Bandingkan pemikiran mereka dengan pemikiran anak-anak Kota. Pernahkah anak-anak kota itu bertanya mengapa harus pakai seragam sekolah? Mengapa harus datang tepat waktu? Mengapa harus belajar ini itu? Bisa saya pastikan tak pernah. Karena lembaga pendidikan di negeri ini tak memberi ruang untuk dikritisi. Tidak membudayakan pemikiran kritis sejak dini.

    Menurut Tan Malaka, guru haruslah bertindak sebagai motivator dan fasilitator. Bukan diktator. Apa yang dilakukan Butet Manurung, agaknya sudah mencerminkan guru seperti dimaksud Tan Malaka.

    Dalam hal menghaluskan perasaan, Tan Malaka berpendapat perasaaan siswa harus diasah untuk memiliki keberpihakan pada kaum tertindas. Siswa juga harus dididik untuk memiliki penghargaan yang sama pada pekerjaan kasar dan kerja otak. Selain itu, siswa harus didorong untuk memiliki keberanian berbicara.

    Tahun 2005, telah dilakukan perubahan acuan dasar penyelenggaraan dan satuan pendidikan. Peraturan Pemerintah No 19/2005 Pasal 19 menyebutkan bahwa “Satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai bakat, minat, dan perkembangan fisik dan psikologis peserta didik”.

    Namun pada praktiknya, belumlah sesuai dengan acuan tersebut. Di sekolah, guru masih mendominasi pembelajaran melalui ceramah. Maklum saja, pengalaman belajar guru-guru itu memang ceramah. Guru juga masih melanggar prinsip guru sebagai fasilitator dan motivator. Dominasi guru dalam pembelajaran membuat peserta didik hanya menjadi objek dalam belajar.

    Yang saya paparkan hanyalah masalah dalam proses pembelajaran. Ada banyak lagi masalah dalam pendidikan di negeri ini sebenarnya. Perlu adanya pembenahan besar-besaran pada konsep pendidikan kita, pada praktik pembelajaran di kelas. Bagaimana caranya? Saya serahkan kepada petinggi-petinggi negeri ini yang pastilah memiliki ilmu jauh lebih banyak dari saya. Tak cukup hanya dengan perubahan undang-undang. Mereka harus memikirkan dampak pada tataran praktik di kelas.

  2. Senyap.
    Tak ada suara.
    Hanya ada air mata.