Rss Feed

  1. Judul Buku : Kepada Seniman Universal (Kulmpulan Esai Sastra A.S. Dharta)
    Editor : Budi Setiyono
    Tahun Terbit : 2010
    Penerbit : Ultimus
    Tebal Buku : xxx + 246 Halaman


    “Kalau hanya mempersoalkan masalah perseorangan, tidak ada sangkut paut dengan masalah manusia banyak, maka ‘pikiran dalam’ itu hanya dalam dan dianggap berguna oleh beberapa gelintir orang. Dan ini adalah individualisme” –A.S. Dharta–

    A.S. Dharta adalah salah satu nama pena dari Endang Rodji. Ia menjadi sekretaris jendelral pertama Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) pada 17 Agustus 1950. Ia sudah memutuskan kodratnya: sastrawan turun dari ke-akuannya, berdiri di pihak yang tertindas, menghunus pedang-kata menghadang kaum penindas. Sastrawan mesti berani terus menerompetkan kebenaran. Sastrawan menegakkan tenaga raksasa di hati massa, menempa keyakinan granit di kalbu patriot, memelopori massa ke arah cita yang tinggi murni.

    Dharta memulai kritiknya terhadap angkatan 45 melalui sebuah esai berjudul Angkatan 45 Sudah Mampus. Esai tersebut cukup menggemparkan dan menimbulkan polemik di antara sastrawan Indonesia. Kritik-kritik lain terus dilontarkan melaui esai-esainya yang lain juga melalui sajak.

    Bagi Dharta, sebutan angkatan 45 tidak sesuai dengan makna angkatan 45 itu sendiri. Angkatan 45 bukan nama dari suatu angkatan yang menyerah, nama dari suatu angkatan yang perwira, nama dari suatu angkatan yang setiap hasil pekerjaannya bersumber pada prinsip revolusi nasional.

    Fakta yang terjadi, sajak-sajak Chairil Anwar—sastrawan yang dianggap pelopor angkatan 45—pun kebanyakan bukanlah sajak angkatan 45 menurut isi, kecuali “Kenanglah Kami” yang isi atau bentuknya benar-benar bernapaskan angkatan 45. Menurut Dharta, seorang sastrawan tak perlu disibukkan dengan sebutan angkatan ini itu. Biarlah ia besar dengan nama dan karyanya sendiri.

    Dalam esai-esainya juga tergambar bagaimana seorang Dharta sangat menentang sastra atau seni yang individualis. Individualis yang dimaksud adalah karya sastra atau seni yang hanya menonjolkan sisi kehidupan pribadi, tak berdampak bagi masyarakat.
    Buku ini adalah kumpulan esai-esai sastra dari seorang A.S Dharta. Budi Setiyono (Buset) membagi sajak-sajak tersebut ke dalam lima bagian. Bagian pertama—Menuju Realisme Sosialis—berisi esai-esai Dharta tentang kritik terhadap angkatan 45.

    Bagian ke dua—Kehidupan Kultural—memaparkan pendapat Dharta tentang kebudayaan dan sastra di negeri ini. Tulisan-tulisan yang menjawab kritik dan menilai karya sastra dirangkum dalam bagian Menilai dan Menjawab Kritik.

    Esai-esai Dharta tentang kesusatraan dunia disatukan dalam bagian Kesusastraan Dunia. Pada bagian terakhir, tulisan-tulisan Dharta tentang Lekra memberi penjelasan kepada pembaca, seperti apa kinerja Lekra.

    Nama A.S Dharta memang tak begitu dikenal masyarakat bangsa ini. Tak seperti Khairil Anwar, HB Jassin, Sanusi Pane, dan nama-nama sastrawan lain yang kerap kita dengar sejak di sekolah dasar. Dharta memang tak pernah muncul di buku-buku pelajaran Bahasa Indonesia. Mungkin karena ia dianggap dekat dengan komunis.

    Sebelum membaca buku ini, ada baiknya memahami sejarah kesusastraan Indonesia sejak tahun 1945. Karena jika tidak, pembaca akan sedikit kebingungan dan sulit memahami esai-esai yang ditulis Dharta karena editor tak memberi penjelasan di tiap akhir esai Dharta.

    Juga dimuat di www.suarausu-online.com

  2. Tentang Merawat Harapan

    Senin, 14 November 2011


    “Yang harus kita lakukan hanyalah merawat harapan”

    Itu isi pesan singkatmu waktu itu. Mungkin kau pun sudah lupa pernah menuliskannya untukku.

    Kalimat itu aku tulis di selembar kertas dan aku tempel tepat di samping tempat tidur di kamar kosku dulu. Alasannya sederhana, untuk mengingatkan diri sendiri agar terus merawat harapan. Aku membacanya tiap akan dan bangun tidur.

    Pertama kali mendengar kalimat itu, pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana cara merawat harapan? Apakah ia seperti merawat tanaman? Atau merawat hewan peliharaan? Merawat orang sakit barangkali?

    Atau mungkin ia lebih mirip merawat rumah? Kendaraan? Elektronik?

    Harapan adalah sumber masalah, tanpa harapan, tak akan ada masalah—jika masalah didefinisikan sebagai kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Apakah merawat harapan berarti merawat sumber masalah?

    Jelas tidak, jika kenyataan sesuai dengan harapan yang dirawat.

    Bagaimana jika kenyataan memaksa kita untuk merawat harapan dalam jangka waktu yang tak tentu? Ketika kita merawat harapan, kita tentu tak ingin terus merawatnya. Kita tentu ingin suatu saat menghadapi kenyataan yang sesuai dengan harapan. Kata harapan dihapus dan diganti dengan kenyataan.

    Merawat harapan mungkin seperti bermimpi dan terus tidur. Kita tak diberi waktu untuk bangun, bangkit, dan mewujudkan mimpi menjadi kenyataan. Merawat harapan berarti membiarkannya terus menjadi harapan. Berlapis-lapis harapan. Benarkah begitu?

    Entahlah, aku pun bingung mendefinisikannya. Seperti kita, yang belum dan mungkin tak akan pernah terdefinisi.