Rss Feed
  1. Ditemani Garis yang Tak Rapi

    Rabu, 19 Desember 2012


    Di suatu ketika menjelang dini hari
    Saat cahaya tak ada lagi
    Aku duduk di sini, di antara dua sisi
    Ditemani garis yang tak rapi

    Pada pagi yang belum bermentari
    Saat mereka hanyut dalam mimpi
    Aku masih di sini, sendiri dan menepi
    Ditemani hati yang tak pasti

    Waktu berlalu
    Tanpa sedikitpun pernah ragu
    Menyisakan rasa
    Yang terbelenggu sejak dahulu
    yang tak terkikis, 
    yang tak tertulis,

    aku masih di sini, sendiri dan menepi
    ditemani garis yang tak rapi
    ditemani hati yang tak pasti

  2. Desember

    Selasa, 11 Desember 2012



    Apa yang harus ditakutkan dari menjalani hidup di tempat yang lain?

    Kalau dipaksa menuliskan daftar ketakutan-ketakutan itu, aku pastikan aku tak bisa menulis satupun. Pada dasarnya aku bukan penakut. Secara empiris, aku terbukti kuat melewati hidup yang seringkali tidak mulus. Tapi memutuskan untuk pergi dari sini, seperti mati dan tak mungkin hidup lagi.

    Belum ada jawaban dari beberapa pertanyaan yang aku bingung apa, apalagi keputusan. Tak ada yang bisa diputuskan. 

    Ini bukan soal perbandingan angka-angka yang diterima tiap bulan. Atau soal perbandingan pengalaman di ‘dalam’ dan di ‘luar’. Ada sesuatu yang terus-terusan membuat ragu. Sesuatu yang selalu memaksaku untuk bisu.

    Aku sering dihadapkan pada pilihan-pilihan, pada dilema yang menyesakkan. Tapi aku belum pernah hadapi yang sesulit ini.




  3. Aku hanya bisa tertawa melihatmu yang sedang bercermin.
    Kau merasa jijik, kemudian menangis.
    Lagi-lagi aku cuma tertawa dan mengutuki betapa bodohnya kau.
    Apa yang kau pikirkan ketika kau memutuskan tidur dengan seorang lelaki?
    Cinta?
    Haha
    Bagi mereka, cinta hanya kata-kata indah dan perhatian lebih yang harus dikorbankan untuk bisa menikmati tubuhmu dan memiliki kelaminmu.
    Kau melakukannya karena cinta.
    Mereka mencintaimu karena ingin melakukannya.
    Kau tahu apa bedanya kau dengan seorang pelacur jalanan?
    Bedanya hanyalah demi apa semua itu dilakukan.
    Kau demi cinta, mereka demi uang.
    Tapi setelah sperma itu keluar, kau atau mereka, akan sama-sama ditinggalkan.
    Seperti seonggok daging yang mulai busuk.
    Pelacur mendapatkan uang.
    Apa kau mendapatkan cinta?


    Cinta tak lagi ada setelah kau ditidurinya..



  4. Sebuah Ungkapan Terima Kasih

    Minggu, 16 September 2012



    KATA PENGANTAR
    Ada kelegaan yang amat sangat ketika akhirnya skripsi ini selesai, setelah sekian lama mengambang ditelan aktivitas dan kebuntuan. Pada akhirnya, limpahan karunia dan kekuatan hati yang diberikan Allah SWT sangat saya rasakan ketika skripsi ini selesai. Saya berhutang budi pada banyak pihak untuk terselesaikannya skripsi ini, dan dalam kesempatan ini saya ingin menyebut mereka sebagai ungkapan terima kasih.
    Pertama, rasa hormat dan terima kasih saya kepada Bang Haris Wijaya, dosen pembimbing yang begitu sabar dan pengertian, juga kepada Ibu Fatma Wardi Lubis yang menggantikan Bang Haris ketika ia harus ke Amerika. Terima kasih untuk segala masukan, nasehat dan perbaikan demi kesempurnaan skripsi ini. Kepada seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi, terima kasih untuk ilmu, pengalaman dan pelajaran yang telah diberikan selama empat tahun saya menjalani perkuliahan.

  5. Dia yang Sedang Menikmati Kebahagiaan

    Sabtu, 15 September 2012





    Bukan, bukan karena telah menjadi sarjana yang membuatnya bahagia. Ia pun bingung mencari alasan kebahagiaannya. Akhir-akhir ini, ia begitu mensyukuri hidupnya yang meskipun sederhana, tapi membuatnya bahagia. Ia sedang kebingungan bagaimana mengekspresikan kebahagiaannya.

    Ia pun tersenyum menuliskan ini. Sudah lama sekali ia tak merasa begini. Ia sedang sampai pada titik lupa pada semua rasa sakit hati.

    Sekali lagi, ini bukan karena ia telah menjadi sarjana, atau sebentar lagi akan diwisuda, atau sudah terbebas dari pertanyaan “sudah sampai bab berapa?”. Ia bahkan tak begitu puas dengan sidang meja hijauya. “Flat,” katanya. Tak seperti apa yang ia pikir sebelumnya. 

    Ia juga tidak sedang jatuh cinta. Kisah cintanya akhir-akhir ini bahkan berpeluang besar untuk membuatnya tidak bahagia. Tapi saat ini, ia bahagia. 

    Katanya, Tuhan begitu baik padanya meski ia masih sering lupa kalau Tuhan masih ada. Katanya, orang-orang di sekelilingnya begitu baik padanya meski terkadang ia jahat pada mereka. Katanya, keluarganya sangat perhatian padanya meski ia sering malas menanyakan kabar mereka. 

    Ia kembali tersenyum. Bahagia. “Barangkali, saat merasa bahagia seperti ini adalah waktu yang tepat untuk mati,” pikirnya.



    (Rabu, 5 September 2012 | 18.59)

  6. Tentang Hans

    Sabtu, 08 September 2012


    Kurang dari satu jam yang lalu, ketika ia sedang di atas motor sendiri, kenangan tentang sahabat lamanya terputar ulang. Lalu ia merasa rindu mulai menyerang. Sahabat itu, bernama Hans. Teman seangkatannya di sebuah organisasi pers mahasiswa di kampus kala itu. Aktivitas dan rutinitas di kampus lah yang membuat mereka dekat.

    Ia masih ingat ketika ia kembali dari kampung halaman dan tiba di terminal. Saat itu, ia merasa tidak enak badan. Hans lah yang bisa diandalkannya untuk menjemputnya ke terminal dan mengantar ke kos-kosan.

    Beberapa kali selalu ia repotkan Hans untuk menemaninya liputan ke luar kampus. Hans mengaku senang bila diajak liputan ke luar. Pernah, Hans menemaninya ke Galeri Tondi. Saat itu ada pameran seorang pelukis dari Jogja, ada juga penampilan musik dari Alm. Ben Pasaribu. Hans terlihat sangat bahagia menikmati lukisan dan pertunjukan. Hans tak peduli dengan resiko dimarahi karena terlambat datang rapat. Tiap pulang rapat, ia selalu minta diantar Hans, dan Hans mengantarnya tanpa pernah mengeluh.

    Kedekatan itu mulai renggang sejak Hans keluar dari organisasi karena suatu alasan. Ia sibuk, Hans sibuk. Berasal dari dua fakultas berbeda membuat tak pernah ada kegiatan atau kepentingan yang membuat mereka harus bertemu. Saling berkirim kabar lewat pesan singkat pun tak bertahan lama.
    Saat ini, sudah tiga tahun mereka tak saling memberi kabar. Ia sudah menjalani hidupnya, pun begitu dengan Hans. Tapi malam ini, mendadak ia rindukan Hans, sahabat lamanya. 


  7. Pada Suatu Pagi

    Sabtu, 25 Agustus 2012


    Sudah kuputuskan untuk menolak memberi tahu apapun tentang aku. Karena betapapun jelas aku deskripsikan, kau tak akan bisa paham. Kau tak merasakan, karena kau bukan aku.

    Ada memori yang pernah kita bagi, ada kenangan yang pernah kita ceritakan, ada rasa yang pernah kita utarakan. Tapi kali ini, aku memilih diam. Menyimpan rasa di tempat paling aman. Menahan setiap kata yang bisa saja keluar tanpa sengaja.

    Kalau boleh jujur, aku ingin sekali kau bisa ikut merasa, agar aku punya teman cerita, agar tawa kita segera menggantikan air mata—seperti biasanya. Tapi barangkali aku memang harus menangis sendiri, tertawa sendiri, menertawakan diri sendiri. Lalu belagak sok berani, sok mandiri, sok bisa hidup sendiri.


    I miss our quality time

  8. Cuplikan Novel #2

    Selasa, 14 Agustus 2012

    “Kenapa kamu pengen banget mati, Bay?”

    “Aku penasaran Mbak, mati itu kayak gimana,” katanya. Wajahnya datar, nyaris tanpa ekspresi.

    “Kamu enggak perlu penasaran kali, Bay. Semua orang kan pasti bakal ngerasain mati.”

    “Tapi aku memang enggak pengen hidup lama, Mbak.”

    “Lha kenapa?”

  9. Cuplikan Novel #1

    Senin, 13 Agustus 2012


    Pagi tadi aku mengirim pesan kepadanya, aku bilang aku sedang sangat merindukannya. Dia pasti bahagia membaca pesanku. Dia pasti berpikir aku sangat mencintainya. Aku berbohong.

    Dalam hidupku, tak pernah aku merindukan sesuatu selain kematian. Bahkan wanita itu. Wanita yang sangat mencintaiku. Juga Ibuku, apalagi ayahku. Tak pernah aku rindukan mereka seperti aku merindukan kematian.
    Bagaimana caranya mengatakan kepada kematian kalau aku sangat merindukannya dan ingin ia segera datang? Aku tau ia pasti datang, tapi aku bosan menunggunya tanpa kepastian.

    (Bab 2 | Tentang Kematian | catatan harian)

  10. Dialog Batin

    Jumat, 10 Agustus 2012






    Sudahlah, tindakanmu sudah benar. Tak ada lagi yang perlu kau bicarakan. Ia bahkan tak pernah merasa bersalah dengan tindakannya.


    Kau tau? Kau tak seharusnya seperti ini. Bicaralah padanya. Perbaikilah apa-apa yang telah kalian rusak.

    Kau sudah pernah berusaha memperbaikinya, bukan? Tapi hasilnya? Kau malah menyimpan rasa sakit yang tak pernah mereka ketahui.



  11. Begitulah Kita

    Kamis, 09 Agustus 2012


    Tak ada yang lebih menyesakkan dari suatu keadaan ketika aku melihatmu tapi tak bisa menyapamu. Berada di tempat yang sama, tapi saling bisu. Padahal dulu kita selalu berpelukan tiap bertemu.

    Ada apa dengan kita?

    Entah, aku pun tak tau. Awalnya, diamku adalah usaha untuk tidak menjadi palsu. Tak mau berpura-pura tak ada apa-apa, karena sebenarnya memang ada apa-apa. Tak mau pura-pura sehat dalam kondisi yang sekarat. Tak mau pura-pura bahagia dalam suasana hati yang lara. Aku hanya ingin menjadi aku yang seperti apa seharusnya aku. Aku yang marah kalau disakiti. Aku yang menjadi diam kalau tingkat kemarahanku sudah tinggi.

    Kau menyakiti, aku marah, kemudian diam. Lalu kau juga diam.
    Begitulah kita.

  12. Apa Kau Begitu Bahagia Sekarang?

    Rabu, 08 Agustus 2012

    Ini Agustus. Kau masih ingat pertemuan kita di Agustus beberapa tahun lalu? Saat kita masih sangat baru. Masih lugu. Dan kita belum saling tau. Ah, aku tak yakin kau masih mengingatnya, seperti aku. Barangkali kau sudah menghapusnya atau bisa jadi ingatan itu terhapus dengan sendirinya. Karena aku, tak lagi sepenting dulu.

    Apa kabarmu? Ingin sekali aku bertanya begitu jika melihatmu. Lalu kita menghabiskan waktu berdua dan saling cerita tentang kita, tanpa ada rasa sakit apa-apa.


  13. Kepada Juli

    Jumat, 03 Agustus 2012



    Baru tiga hari tak melihatmu, aku sudah rindu. Dan kerinduan itu semakin menjadi ketika aku menyadari ada 334 hari yang harus aku lewati sendiri hingga kau kembali nanti.

    Juli, aku ingin minta maaf. Pengabaianku terhadap pertemuan kita tak pernah aku rencanakan, dan sebenarnya aku tak pernah bermaksud demikian. Ada sangat banyak pekerjaan yang membuat aku dan kau seperti tak bertemu, padahal seharusnya kita saling melepas rindu.



  14. Semasa hidupnya, ia seorang dermawan. Banyak uang ia sumbangkan untuk pembangunan Kota Medan kala itu. Ia pun menghargai perbedaan. Tak pernah ia membeda-bedakan ras, bangsa, suku, agama ataupun asal-usul. Itu sebabnya ia dikenang. Meski sudah lebih dari satu abad setelah kepergiannya. Nama dan kisah hidupnya akan menjadi cerita turun temurun di kota ini.

    Tahun 1875, seorang pemuda dari Desa Moy Hian di Daratan Cina datang ke Tanah Deli. Pemuda 18 tahun itu bernama Tjong A Fie. Ia hanya punya sepuluh perak uang manchu. Uang-uang itu terjahit di ikat pinggangnya. Sebagai pendatang asing yang miskin, ia coba mengadu nasib ke pesisir Timur Sumatera. Menyusul kakaknya, Tjong Yong Hian yang sudah limah tahun merantau di Tanah Deli.



  15. Mari membangun kampung halaman sendiri! Begitulah seruan dari Raja Inal Siregar di tahun pertama ia menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara. Sebuah konsep yang dulu sempat populer dan kini masih diingat.


    Senin, 5 September 2005, Hotmaria Siregar yang saat itu berusia 37 tahun sedang mengendarai mobilnya menyusuri padatnya jalanan Kota Jakarta untuk menjemput anaknya dari play group. Dari radio di dalam mobilnya, ia dengar berita tentang jatuhnya pesawat Mandala Airlines yang membawa Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Tengku Rizal Nurdin dan mantan Gubernur Sumut. Pesawat itu gagal lepas landas dari Bandara Polonia ketika ingin menuju Jakarta.
     



  16. Bulan Ke Dua

    Senin, 11 Juni 2012



    Bulan ke dua itu, kelegaan dan kehilangan mengatur jadwal untuk bisa datang berdua.
    Masih di bulan ke dua itu, pertemuan dan perpisahan berkunjung di waktu bersamaan.

    Lalu ada perjalanan.
    Dalam perjalanan, apa yang sudah berpisah, bertemu lagi, lalu berpisah lagi, lalu tak akan bertemu lagi.





  17. Saya merasa lucu ketika mendengar seorang teman berkata begini, “Aku tidak berbohong, aku hanya sedang menyembuyikan kebenaran.”

    Apa bedanya?
    Bagi saya, kebenaran yang disembunyikan, yang kalau dikatakan akan mengubah suatu keadaan menjadi tidak seperti yang diinginkan adalah sebuah kebohongan. Ya, mereka yang begitu, tetap saja pemboohong.
    Misal, misal nih yaaa… saya punya pacar yang kebetulan sedang berada jauh dari saya. Lalu pada suatu ketika saya pergi ke toko buku sama laki-laki lain, ya katakanlah dia selingkuhan. Si pacar nanya, saya di mana. Saya bilang lagi di toko buku. Nah, dia enggak nanya lagi saya sama siapa, tapi malah nanya, saya nyari buku apa. Pembicaraan pun berlanjut tentang buku. Dan dia enggak pernah tahu kalau saya ke toko buku sama laki-laki lain.



  18. #LIMA JUNI (Menjadi Tolol)

    Selasa, 05 Juni 2012


    Kadang merasa tolol mengingat hal-hal tolol. Tapi untuk beberapa alasan, menjadi tolol terkadang membahagiakan. 

    Saya mungkin sering menertawakan orang yang melakukan hal tolol karena mencintai seseorang. Misal, rela enggak masuk kuliah karena harus jemput pacar, mau digantung bertahun-tahun karena memang tidak bisa mencintai orang lain, Ikhlas enggak ikut keluarga liburan ke luar negeri karena udah janji nemenin pacar. Melihat orang lain begitu, saya pasti bilang ‘dia tolol’. Tapi sadar atau enggak, ketololan karena mencintai orang lain juga pernah saya lakukan. Ah, tak perlu saya jelaskan bentuk ketololan seperti apa. Yang jelas, ketika kenangan-kenangan tolol itu diingat kembali, saya Cuma bisa membatin, “How fool I was.”






  19. Aku mengenal Harapan dua tahun lalu, ketika aku dan Harapan sama-sama dikhianati kenyataan. Aku memungutnya dan membawanya pulang ke rumah. Kepadaku ia ceritakan segala sesuatu. Aku dan Harapan bergantian menjadi telinga. 

    Sejak saat itu, aku putuskan untuk merawat Harapan. Menjaganya bersama semua benda yang aku simpan di rumah. Sesekali Harapan ke luar rumah. Berjalan sendirian atau terkadang berlari bersama teman lamanya. Tapi ia tak pernah lupa pulang. Harapan selalu membukakan pintu untukku. Harapan tak pernah absen membangunkanku dari tidur. Ia juga yang mengantarku ke tempat tidur. 





  20. Bad Mood. Sebuah kondisi jiwa yang pasti dialami setiap orang. Kondisi yang membuat yang mengalaminya malas melakukan apa-apa. Dan menulis dalam keadaan bad mood adalah cobaan terbesar dari semesta.
    Ada sesuatu yang nyaris membuncah, yang harus ditahan agar tidak keluar, agar tak menyakiti orang. Pun sesuatu itu tak boleh dituliskan, masih agar tidak menyakiti orang. Pada akhirnya aku hanya bisa manikmati sakit di diri sendiri.

    Kalau sudah begini, tak akan ada yang bisa ditulis. Hanya tulisan sampah. Ya begini ini. menuliskan ke bad mood-an, menuliskan ketidakmampuan untuk menulis dalam keadaan bad mood, dan menjadikan bad mood sebagai excuse dari ketidakmampuan menulis dalam kondisi apapun.



  21. “Hanya satu permintaanku, jadikanlah hidupmu sebagai pelukis.”Kalimat itu diucapkan seorang gadis kepada Sayang Petrus Bangun ketika ia masih belajar di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kalimat yang membuat ia yakin untuk menjadi pelukis. Kalimat yang hingga sekarang masih ia kenang dengan manis.

    10 Oktober 1952. Seorang bayi laki-laki lahir di Desa Batusanggehen, Sibolangit, Deli Serdang.. Bayi itu tak seperti bayi pada umumnya. Ia lahir tanpa kedua lengan. Bayi itu terus tumbuh menjadi remaja. Ia sekolah di sekolah umum, bukan di sekolah berkebutuhan khusus. Ia habiskan masa sekolah dasarnya di desa kelahirannya.



  22. “Apa Kabar?”

    Selasa, 10 April 2012


    “Apa Kabar?” atau “Bagaimana kabarmu?” adalah pertanyaan yang menurut saya cukup abstrak. Saya bahkan selalu bingung jawaban seperti apa sebenarnya yang diinginkan pertanyaan itu. Karena bingung ya saya jawab saja “Baik” atau “Tidak begitu baik”. Tapi bukankan jawaban “Baik” dan “Tidak begitu baik” adalah juga jawaban yang sangat abstrak dan terlalu luas.

    Kabar seperti apa yang sebenarnya ingin ditanyakan oleh sebuah pertanyaan “Apa kabar?”



  23. Bisa Jadi Begitu

    Minggu, 04 Maret 2012


    Ini seperti menonton sebuah film yang diangkat dari sebuah novel dan aku sudah membaca novelnya. Aku tau jalan ceritanya dan sangat hafal dengan endingnya. Tapi aku terus menonton, melihat visualisasi adegan demi adegan yang terkadang berbeda dari yang pernah aku bayangkan. 

    Begitu juga dengan kita. Apa yang terjadi sebenarnya sudah kuduga sejak awal, hanya beberapa adegan saja yang berbeda dari apa yang dulu aku bayangkan. Tapi jalan cerita dan akhirnya tak meleset dari dugaan. Aku menduga, bersamaan dengan itu, aku selalu berharap agar dugaanku meleset. Tapi ternyata tidak.

    Mungkin, karena sudah menduga dan sudah membayangkan alur cerita, aku tidak begitu terkejut melihat adegan demi adegan dalam dugaan menjadi nyata. Aku tidak menangis bahkan ketika melihat sebuah adegan yang sejak dulu tak pernah aku harapkan terjadi. 

    Itu kemungkinan pertama, kemungkinan ke dua aku analogikan seperti tubuh manusia. Ketika terlalu sering merasakan sakit, sakit-sakit itu akan menjadi hal biasa. Bahkan tak lagi seperti merasakan sakit. Karena ya memang begitulah yang setiap hari dirasakan. Atau ketika tubuh manusia menderita luka yang sangat parah, hingga ia tak lagi merasakan sakitnya sementara darah terus mengalir deras. Yah, bisa jadi begitu.