Rss Feed
  1. Sebuah Ungkapan Terima Kasih

    Minggu, 16 September 2012



    KATA PENGANTAR
    Ada kelegaan yang amat sangat ketika akhirnya skripsi ini selesai, setelah sekian lama mengambang ditelan aktivitas dan kebuntuan. Pada akhirnya, limpahan karunia dan kekuatan hati yang diberikan Allah SWT sangat saya rasakan ketika skripsi ini selesai. Saya berhutang budi pada banyak pihak untuk terselesaikannya skripsi ini, dan dalam kesempatan ini saya ingin menyebut mereka sebagai ungkapan terima kasih.
    Pertama, rasa hormat dan terima kasih saya kepada Bang Haris Wijaya, dosen pembimbing yang begitu sabar dan pengertian, juga kepada Ibu Fatma Wardi Lubis yang menggantikan Bang Haris ketika ia harus ke Amerika. Terima kasih untuk segala masukan, nasehat dan perbaikan demi kesempurnaan skripsi ini. Kepada seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi, terima kasih untuk ilmu, pengalaman dan pelajaran yang telah diberikan selama empat tahun saya menjalani perkuliahan.

  2. Dia yang Sedang Menikmati Kebahagiaan

    Sabtu, 15 September 2012





    Bukan, bukan karena telah menjadi sarjana yang membuatnya bahagia. Ia pun bingung mencari alasan kebahagiaannya. Akhir-akhir ini, ia begitu mensyukuri hidupnya yang meskipun sederhana, tapi membuatnya bahagia. Ia sedang kebingungan bagaimana mengekspresikan kebahagiaannya.

    Ia pun tersenyum menuliskan ini. Sudah lama sekali ia tak merasa begini. Ia sedang sampai pada titik lupa pada semua rasa sakit hati.

    Sekali lagi, ini bukan karena ia telah menjadi sarjana, atau sebentar lagi akan diwisuda, atau sudah terbebas dari pertanyaan “sudah sampai bab berapa?”. Ia bahkan tak begitu puas dengan sidang meja hijauya. “Flat,” katanya. Tak seperti apa yang ia pikir sebelumnya. 

    Ia juga tidak sedang jatuh cinta. Kisah cintanya akhir-akhir ini bahkan berpeluang besar untuk membuatnya tidak bahagia. Tapi saat ini, ia bahagia. 

    Katanya, Tuhan begitu baik padanya meski ia masih sering lupa kalau Tuhan masih ada. Katanya, orang-orang di sekelilingnya begitu baik padanya meski terkadang ia jahat pada mereka. Katanya, keluarganya sangat perhatian padanya meski ia sering malas menanyakan kabar mereka. 

    Ia kembali tersenyum. Bahagia. “Barangkali, saat merasa bahagia seperti ini adalah waktu yang tepat untuk mati,” pikirnya.



    (Rabu, 5 September 2012 | 18.59)

  3. Tentang Hans

    Sabtu, 08 September 2012


    Kurang dari satu jam yang lalu, ketika ia sedang di atas motor sendiri, kenangan tentang sahabat lamanya terputar ulang. Lalu ia merasa rindu mulai menyerang. Sahabat itu, bernama Hans. Teman seangkatannya di sebuah organisasi pers mahasiswa di kampus kala itu. Aktivitas dan rutinitas di kampus lah yang membuat mereka dekat.

    Ia masih ingat ketika ia kembali dari kampung halaman dan tiba di terminal. Saat itu, ia merasa tidak enak badan. Hans lah yang bisa diandalkannya untuk menjemputnya ke terminal dan mengantar ke kos-kosan.

    Beberapa kali selalu ia repotkan Hans untuk menemaninya liputan ke luar kampus. Hans mengaku senang bila diajak liputan ke luar. Pernah, Hans menemaninya ke Galeri Tondi. Saat itu ada pameran seorang pelukis dari Jogja, ada juga penampilan musik dari Alm. Ben Pasaribu. Hans terlihat sangat bahagia menikmati lukisan dan pertunjukan. Hans tak peduli dengan resiko dimarahi karena terlambat datang rapat. Tiap pulang rapat, ia selalu minta diantar Hans, dan Hans mengantarnya tanpa pernah mengeluh.

    Kedekatan itu mulai renggang sejak Hans keluar dari organisasi karena suatu alasan. Ia sibuk, Hans sibuk. Berasal dari dua fakultas berbeda membuat tak pernah ada kegiatan atau kepentingan yang membuat mereka harus bertemu. Saling berkirim kabar lewat pesan singkat pun tak bertahan lama.
    Saat ini, sudah tiga tahun mereka tak saling memberi kabar. Ia sudah menjalani hidupnya, pun begitu dengan Hans. Tapi malam ini, mendadak ia rindukan Hans, sahabat lamanya.