Rss Feed
  1. (Bukan) Catatan Akhir Tahun

    Selasa, 30 Desember 2014



    Dia memang tidak berencana menulis catatan yang serius semacam kaleidoskop tentang apa yang terjadi setahun ini, melainkan hanya catatan ringan tentang perasaan. Oleh sebab bukan rahasia, dia memutuskan mengunggahnya.
    Dia memintaku untuk menuliskannya. Dia tak keberatan orang-orang membaca apa yang dia pikir dan rasakan. Dia tak peduli orang itu teman, musuh, kenalan, rekan, keluarga, pacar, mantan, mantannya pacar, pacarnya mantan, mantannya mantan, atau entah sesiapa yang tak sengaja singgah. Kepada mereka, dia ingin berkata, silahkan baca kalau sanggup!

  2. 25 di Jakarta

    Senin, 03 November 2014

    Ini foto nemu di Google Images

    Judul ini aku pilih tanpa keistimewaan apa-apa. Sesederhana karena sedang merayakan usia yang ke-25 di Jakarta. Di tulisan ini, aku akan lebih banyak cerita tentang Jakarta, bukan tentang 25.
    Iya, Jakarta. Sebuah kota yang aku tak pernah membayangkan—karena memang bayang-bayangnya saja enggan aku simpan di pikiran—akan menjadi kota tempat aku melewati beberapa tahun ke depan. (Aku sendiri tak tahu pasti akan berapa tahun, bisa 5, 10, atau mungkin selamanya, entahlah).
    Kota yang sumpek, kejam, busuk. Kota yang ketimpangan jelas terpampang dan kunikmati dalam tiap-tiap aku menyusuri jalanan. Sekarang, aku di sini.
    Aku masih ingat, saat pertama kali naik commuter line, melihat orang-orang berdesakan, berlarian, mendorong-dorong, memotong antrian. Aku melihat orang-orang yang egois, sedikit sadis. Aku hanya berjalan pelan, memperhatikan, sedikit menertawakan. Sempat aku menyalahkan manusia-manusia yang seakan kehilangan kemanusiaan.
    Lalu ketika aku naik Transjakarta yang penuh sesak. Merasa marah melihat orang-orang tua yang tak diberi tenpat duduk oleh orang-orang muda yang pura-pura tidur. Padahal jelas tertulis ‘priority seat’ di bangku yang mereka duduki.
    Aku juga sudah dua kali adu debat dengan pencopet yang gagal mencopet barang milikku. Orang-orang di sekitarku tak peduli, seakan itu bukan urusan mereka, sebab bukan mereka yang dicopet. Masa Bodoh.
    Ya, begitulah Jakarta dan segenap hiruk pikuknya. Lantas salah siapa? Salah apa?
    Aku pikir tak tepat jika menyalahkan manusia-manusia yang mendadak menjadi egois dan sadis, sebab busuknya Jakarta adalah kesalahan yang telah diciptakan sejak lama oleh penguasa, dan dilanjutkan secara terstruktur dan sistematis.
    Kota ini dijadikan pusat segala-gala, pemerintahan, perekonomian, bisnis, hiburan, pendidikan. Maka salahkah manusia-manusia dari segala penjuru berkumpul di sini?
    Semua orang dikejar waktu, semua orang kelelahan dengan rute panjang yang harus dilewati untuk sampai ke tempat kerja. Maka saat ini aku mulai berpikir, manusiawi ketika semuanya terlihat terburu-buru, individualis, dan sedikit egois. (Meski tak semuanya begitu, beberapa kali aku juga melihat mbak-mbak dengan ramah memberi kursi di bus pada seorang ibu)
    Ada pepatah sederhana yang bunyinya di mana ada gula, di situ ada semut. Ini semacam di mana ada pasar malam, di situ ada penjual kembang gula (Ah, aku mendadak ingin kembang gula).
    Bagaimana caranya kau bisa mengusir semut—tanpa membunuhnya—jika kau tumpuk gula di lantai dapur? Coba kalau gulanya disebar di halaman belakang rumah, ruang tamu, kamar tidur, ruang TV, pasti semutnya menyebar, mereka tak akan berkumpul di satu titik.
    Mengatasi banjir dan kemacetan di Jakarta, Ahok—atau siapapun gubernurnya kelak—mungkin akan ‘berdara-darah’ sebab manusia yang datang ke kota ini akan terus bertambah. Kebutuhan akan rumah akan terus meningkat. Jalanan akan terus padat. Sampah akan terus berlimpah.
    Aku salah satu contohnya. Aku menambah kepadatan kota ini. Juga teman-temanku yang juga dari Medan. Pagi tadi, teman dari Riau juga akhirnya meninggalkan kota yang ia cintai. Minggu depan, sahabatku juga akan hijrah ke kota ini.
    Kami semacam tak punya pilihan. Aku yang memang ingin menjadi wartawan akan sulit ‘berkembang’ jika bertahan di Medan. Pun teman-temanku, pun para imigran yang lain, mas-mas pengusaha pecel lele, mbak-mbak terapis di spa-spa, atau mahasiswa dari berbagai penjuru negeri.
    Jakarta bukan hanya rusak secara fisik, tetapi juga secara kultural. Orang-orang Betawi, pemilik Negeri Batavia ini semakin tersingkir dari tanahnya sendiri. Aku sendiri pesimis kota ini akan terbebas sepenuhnya dari macet dan banjir. Kita terlalu sibuk membenahi permukaan, hingga lupa pada akar persoalan.

    Kepada para penguasa, jika memang ingin menyelamatkan Jakarta, berhentilah menjadikannya pusat segala-gala!

  3. Kita tidak membutuhkan waktu cukup lama untuk saling mencintai. Aku sudah mencintaimu saat pertama kali kita berbincang, saat aku bahkan belum tahu namamu.

    Iya, saat pada suatu malam kau menghampiri aku yang sedang berbincang dengan seorang bocah keriting[1] di atas atap. Kau yang tiba-tiba datang malah mendominasi pembicaraan. Kita mungkin tak akan berhenti berbicara jika aku tidak mengingatkan bahwa malam sudah larut dan kita semua harus tidur.

    Entah apa yang membuatku merasakan ada sesuatu yang tidak biasa. Tapi aku cepat-cepat menolak rasa itu dan mengingatkan diriku sendiri bahwa aku sedang menjalin hubungan dengan seorang lelaki dan saat itu aku meyakini kami saling mencintai. Meski pada saat yang bersamaan aku merasakan ada sesuatu yang hambar antara aku dan dia, semacam kehilangan rasa atau entah apa namanya, dan itu sudah terjadi sebelum kita bertemu.

    Keesokan harinya aku tidak begitu ambil pusing denganmu. Aku bahkan tidak memperhatikanmu. Saat itu aku sedang berusaha meyakinkan diri bahwa hubunganku dengan kekasihku baik-baik saja. Meyakinkan diri bahwa aku masih mencintainya.

    Kau tentu tahu apa yang kemudian terjadi pada kita, bagaimana pada akhirnya kita menjadi semakin dekat, bagaimana kita terlalu sering memperhatikan satu sama lain, aku pikir tak perlu aku ceritakan lagi.

    Kau tentu masih ingat ketika secara tersirat aku mengatakan padamu bahwa aku sedang menjalin hubungan dengan orang lain di malam ketika kita menikmati wedang jahe buatan seorang teman. Aku melihat air mukamu berubah. Saat itulah aku menyadari kau memang benar mencintaiku.

    Sampai pada akhirnya, beberapa hari setelah itu aku mengajakmu bicara dan dengan jujur aku utarakan perasaanku. Aku mengakui bahwa aku mencintaimu, tapi aku juga mengatakan bahwa gagasan tentang ‘kita’ harus dikubur dalam-dalam sebab aku tak mau menyakiti kekasihku. Meski aku sendiri tak yakin dengan hubunganku yang menurutku semakin sulit.

    Singkatnya, aku kemudian mengakhiri hubunganku dengan kekasihku. Dan ternyata kau yang juga sedang menjalin hubungan—meski kenyataan ini aku ketahui di kemudian hari—menyudahi hubunganmu.

    Di mata kekasihmu, kau mungkin terlihat jahat, aku pun begitu. Aku bahkan cukup lama berlarut-larut dalam rasa bersalah. Dan kau berulang kali meyakinkan kalau itu tidak perlu. Saat aku berkali-kali merasa jahat, kau juga terus meyakinkan kalau jahat dan baik itu tergantung dari mana dan siapa yang melihatnya. Kau benar, kita tidak mungkin terlihat baik di mata semua orang.

    Kita juga pernah melewati masa-masa sulit. Aku, lebih tepatnya. Hanya saja kesulitan itu berimbas juga padamu. Kau tentu tidak lupa masa-masa ketika untuk waktu yang cukup lama kita menahan keinginan nonton di bioskop. Bahkan kita harus berpikir ulang untuk makan di pecel lele pinggir jalan. Atau ketika kau mengutarakan kalau kau ingin sekali makan bebek goreng tapi kita hanya bisa makan di warteg. Dan ketika untuk beberapa hari kau terpaksa menahan keinginan merokok. Tapi kita tetap tertawa. Kita bahagia.

    Masa sulit itu sudah kita lewati, meskipun bisa jadi masa seperti itu akan datang lagi. Tapi aku yakin kita tidak akan kehilangan kebahagiaan. Kita selalu punya cara untuk tertawa, ada banyak hal yang bisa kita tertawakan, menertawakan diri sendiri misalnya. Atau menertawakan Timeh[2].

    Di depanmu, aku selalu bisa jadi diriku sendiri. Aku tak perlu takut terlihat bodoh atau terlihat jelak. Tak pernah khawatir terlihat cengeng atau kekanak-kanakan. Dan itu juga membahagiakan.

    Akan seperti apa kita nanti, kita tak akan pernah tau. Yang jelas, selama kamu dan aku masih menjadi kita, semoga kita tetap bisa saling membahagiakan.

    Selamat ulang tahun, kamu, kekasihku. Berbahagialah!




    [1] Bukan bocah dalam arti sebenarnya. Usia kami hanya terpaut empat tahun, hanya saja aku sudah menganggapnya adik.
    [2] Sejenis makhluk yang paling sering disalahkan