Kita tidak membutuhkan waktu cukup lama untuk saling
mencintai. Aku sudah mencintaimu saat pertama kali kita berbincang, saat aku
bahkan belum tahu namamu.
Iya, saat pada suatu malam kau menghampiri aku yang sedang
berbincang dengan seorang bocah keriting[1] di atas
atap. Kau yang tiba-tiba datang malah mendominasi pembicaraan. Kita mungkin tak
akan berhenti berbicara jika aku tidak mengingatkan bahwa malam sudah larut dan
kita semua harus tidur.
Entah apa yang membuatku merasakan ada sesuatu yang tidak
biasa. Tapi aku cepat-cepat menolak rasa itu dan mengingatkan diriku sendiri
bahwa aku sedang menjalin hubungan dengan seorang lelaki dan saat itu aku
meyakini kami saling mencintai. Meski pada saat yang bersamaan aku merasakan
ada sesuatu yang hambar antara aku dan dia, semacam kehilangan rasa atau entah
apa namanya, dan itu sudah terjadi sebelum kita bertemu.
Keesokan harinya aku tidak begitu ambil pusing denganmu. Aku
bahkan tidak memperhatikanmu. Saat itu aku sedang berusaha meyakinkan diri
bahwa hubunganku dengan kekasihku baik-baik saja. Meyakinkan diri bahwa aku
masih mencintainya.
Kau tentu tahu apa yang kemudian terjadi pada kita,
bagaimana pada akhirnya kita menjadi semakin dekat, bagaimana kita terlalu sering
memperhatikan satu sama lain, aku pikir tak perlu aku ceritakan lagi.
Kau tentu masih ingat ketika secara tersirat aku mengatakan
padamu bahwa aku sedang menjalin hubungan dengan orang lain di malam ketika
kita menikmati wedang jahe buatan seorang teman. Aku melihat air mukamu
berubah. Saat itulah aku menyadari kau memang benar mencintaiku.
Sampai pada akhirnya, beberapa hari setelah itu aku
mengajakmu bicara dan dengan jujur aku utarakan perasaanku. Aku mengakui bahwa
aku mencintaimu, tapi aku juga mengatakan bahwa gagasan tentang ‘kita’ harus
dikubur dalam-dalam sebab aku tak mau menyakiti kekasihku. Meski aku sendiri
tak yakin dengan hubunganku yang menurutku semakin sulit.
Singkatnya, aku kemudian mengakhiri hubunganku dengan
kekasihku. Dan ternyata kau yang juga sedang menjalin hubungan—meski kenyataan
ini aku ketahui di kemudian hari—menyudahi hubunganmu.
Di mata kekasihmu, kau mungkin terlihat jahat, aku pun
begitu. Aku bahkan cukup lama berlarut-larut dalam rasa bersalah. Dan kau
berulang kali meyakinkan kalau itu tidak perlu. Saat aku berkali-kali merasa
jahat, kau juga terus meyakinkan kalau jahat dan baik itu tergantung dari mana
dan siapa yang melihatnya. Kau benar, kita tidak mungkin terlihat baik di mata
semua orang.
Kita juga pernah melewati masa-masa sulit. Aku, lebih
tepatnya. Hanya saja kesulitan itu berimbas juga padamu. Kau tentu tidak lupa
masa-masa ketika untuk waktu yang cukup lama kita menahan keinginan nonton di
bioskop. Bahkan kita harus berpikir ulang untuk makan di pecel lele pinggir
jalan. Atau ketika kau mengutarakan kalau kau ingin sekali makan bebek goreng
tapi kita hanya bisa makan di warteg. Dan ketika untuk beberapa hari kau
terpaksa menahan keinginan merokok. Tapi kita tetap tertawa. Kita bahagia.
Masa sulit itu sudah kita lewati, meskipun bisa jadi masa
seperti itu akan datang lagi. Tapi aku yakin kita tidak akan kehilangan
kebahagiaan. Kita selalu punya cara untuk tertawa, ada banyak hal yang bisa
kita tertawakan, menertawakan diri sendiri misalnya. Atau menertawakan Timeh[2].
Di depanmu, aku selalu bisa jadi diriku sendiri. Aku tak
perlu takut terlihat bodoh atau terlihat jelak. Tak pernah khawatir terlihat
cengeng atau kekanak-kanakan. Dan itu juga membahagiakan.
Akan seperti apa kita nanti, kita tak akan pernah tau. Yang
jelas, selama kamu dan aku masih menjadi kita, semoga kita tetap bisa saling
membahagiakan.
Selamat ulang tahun, kamu, kekasihku. Berbahagialah!