Ini foto nemu di Google Images |
Judul ini aku pilih tanpa
keistimewaan apa-apa. Sesederhana karena sedang merayakan usia yang ke-25 di
Jakarta. Di tulisan ini, aku akan lebih banyak cerita tentang Jakarta, bukan
tentang 25.
Iya, Jakarta. Sebuah kota yang
aku tak pernah membayangkan—karena memang bayang-bayangnya saja enggan aku
simpan di pikiran—akan menjadi kota tempat aku melewati beberapa tahun ke
depan. (Aku sendiri tak tahu pasti akan
berapa tahun, bisa 5, 10, atau mungkin selamanya, entahlah).
Kota yang sumpek, kejam, busuk.
Kota yang ketimpangan jelas terpampang dan kunikmati dalam tiap-tiap aku
menyusuri jalanan. Sekarang, aku di sini.
Aku masih ingat, saat pertama
kali naik commuter line, melihat
orang-orang berdesakan, berlarian, mendorong-dorong, memotong antrian. Aku melihat
orang-orang yang egois, sedikit sadis. Aku hanya berjalan pelan, memperhatikan,
sedikit menertawakan. Sempat aku menyalahkan manusia-manusia yang seakan
kehilangan kemanusiaan.
Lalu ketika aku naik
Transjakarta yang penuh sesak. Merasa marah melihat orang-orang tua yang tak
diberi tenpat duduk oleh orang-orang muda yang pura-pura tidur. Padahal jelas
tertulis ‘priority seat’ di bangku
yang mereka duduki.
Aku juga sudah dua kali adu
debat dengan pencopet yang gagal mencopet barang milikku. Orang-orang di
sekitarku tak peduli, seakan itu bukan urusan mereka, sebab bukan mereka yang
dicopet. Masa Bodoh.
Ya, begitulah Jakarta dan
segenap hiruk pikuknya. Lantas salah siapa? Salah apa?
Aku pikir tak tepat jika
menyalahkan manusia-manusia yang mendadak menjadi egois dan sadis, sebab
busuknya Jakarta adalah kesalahan yang telah diciptakan sejak lama oleh
penguasa, dan dilanjutkan secara terstruktur dan sistematis.
Kota ini dijadikan pusat
segala-gala, pemerintahan, perekonomian, bisnis, hiburan, pendidikan. Maka
salahkah manusia-manusia dari segala penjuru berkumpul di sini?
Semua orang dikejar waktu, semua
orang kelelahan dengan rute panjang yang harus dilewati untuk sampai ke tempat
kerja. Maka saat ini aku mulai berpikir, manusiawi ketika semuanya terlihat terburu-buru,
individualis, dan sedikit egois. (Meski tak semuanya begitu, beberapa kali aku juga melihat mbak-mbak dengan ramah memberi kursi di bus pada seorang ibu)
Ada pepatah sederhana yang bunyinya di mana ada gula, di situ ada semut. Ini
semacam di mana ada pasar malam, di situ
ada penjual kembang gula (Ah, aku mendadak ingin kembang gula).
Bagaimana caranya kau bisa
mengusir semut—tanpa membunuhnya—jika kau tumpuk gula di lantai dapur? Coba
kalau gulanya disebar di halaman belakang rumah, ruang tamu, kamar tidur, ruang
TV, pasti semutnya menyebar, mereka tak akan berkumpul di satu titik.
Mengatasi banjir dan kemacetan
di Jakarta, Ahok—atau siapapun gubernurnya kelak—mungkin akan ‘berdara-darah’
sebab manusia yang datang ke kota ini akan terus bertambah. Kebutuhan akan
rumah akan terus meningkat. Jalanan akan terus padat. Sampah akan terus berlimpah.
Aku salah satu contohnya. Aku
menambah kepadatan kota ini. Juga teman-temanku yang juga dari Medan. Pagi
tadi, teman dari Riau juga akhirnya meninggalkan kota yang ia cintai. Minggu
depan, sahabatku juga akan hijrah ke kota ini.
Kami semacam tak punya pilihan.
Aku yang memang ingin menjadi wartawan akan sulit ‘berkembang’ jika bertahan di
Medan. Pun teman-temanku, pun para imigran yang lain, mas-mas pengusaha pecel
lele, mbak-mbak terapis di spa-spa, atau mahasiswa dari berbagai penjuru
negeri.
Jakarta bukan hanya rusak
secara fisik, tetapi juga secara kultural. Orang-orang Betawi, pemilik Negeri
Batavia ini semakin tersingkir dari tanahnya sendiri. Aku sendiri pesimis kota
ini akan terbebas sepenuhnya dari macet dan banjir. Kita terlalu sibuk membenahi
permukaan, hingga lupa pada akar persoalan.
Kepada para penguasa, jika
memang ingin menyelamatkan Jakarta, berhentilah menjadikannya pusat
segala-gala!