Perjalanan, seperti apapun rupanya, tentu
membahagiakan. Bahkan ketika salah memilih jalan, kehabisan makanan, terlambat
pulang, dan terpaksa harus membuat repot banyak orang.
Minggu malam
di penghujung April, kaki saya yang gemetaran karena lelah berjalan terperosok
masuk jurang. Pandangan pun mulai gelap. Tangan kiri saya reflek menyambar
rimbun dedaunan dengan trekking pole
masih tergenggam erat di tangan kanan. Kematian terasa dekat waktu itu.
Beruntung seorang
rekan mendaki bernama Rezza—dan memang hanya ada satu orang rekan mendaki—yang berada
sekitar tiga meter di depan langsung berbalik badan dan menarik badan saya yang
setengahnya masih mendarat di jalur pendakian. Saya gagal masuk jurang.