Entah apa yang membuat manusia, pada satu titik ingin
kembali ke masa lalu. Padahal jika mengingat kembali ke masa kecil, betapa ia ingin
cepat menjadi orang dewasa.
Enam tahun lalu adalah momentum ketika keinginannya menjadi
orang dewasa begitu kuat. Ia ingin hidup mandiri, memutuskan segala sesuatu
sendiri, ia bosan dengan ‘aturan rumah’ yang pada titik itu, menurutnya terlalu
mengekang. Harus begini, tak boleh begitu, dengan alasan yang terkadang tak
masuk akal.
Kini, ia bebas menetukan hidupnya sendiri. Tak ada ibu yang
tiap pulang sekolah memeriksa buku-buku hingga ia selalu merobek kertas tiap
nilainya jelek. Tak ada Abah yang marah-marah jika ia pulang malam, walaupun
karena alasan belajar di rumah seorang kawan. Tak ada adik yang selalu merengek
ingin mengekor ke mana ia pergi, tak peduli ia sedang ingin bicara serius
dengan pacar. Mereka tak ada. Mereka berada di tempat yang jauh hingga tak
punya kuasa dan daya untuk bertindak seperti biasanya.
Ia sering merasa abahnya, ibunya, adiknya adalah orang-orang
paling menyebalkan. Mood-nya sering berubah jadi jelek tiap ada mereka. Ia lalu
berpikir, mengingat-ingat masa lalu. Benarkah begitu?
Kemudian terbayang wajah abah yang mencucikan sepedanya
hingga mengkilap. Terbayang dekapan ibu saat ia menggigil kedinginan, dan adik
yang rela sisihkan uang jajan untuk belikan dia kado sederhana.
Lalu ia merindukan mereka. Ia rindu dimarahi, ia rindu
menerima sms yang menyuruhnya segera pulang. Ia rindu teriakan ibu yang
menyuruhnya segera makan. Ia rindu kamarnya yang dipenuhi poster, yang selalu
dipandanginya, terkadang diajak bicara. Seolah Aston Kutcher, Eminem, Daniel
Radcliff, hingga Ariel Peterpan peduli dan memperhatikannya yang sedang
tak bisa tidur. Ia rindu suara abah yang menyebalkan tiap tahu kalau sudah jam
enam tapi ia belum sholat Subuh. Ia rindu adik yang sering teriak di telinganya
untuk bangunkan dia dari tidur siang yang indah. Ia merindukan rumah. Rumah
yang sekarang hanya menjadi tempatnya singgah.
It wasn’t paradise,
but it was home.