Tak ada yang perlu disesali dari sebuah peristiwa bernama kehilangan.
Karena ia dirancang oleh Tuhan bukan tanpa alasan. Saya termasuk orang
yang cukup sering merasakan ‘kehilangan’ sesuatu yang saya butuh dan
sayang. Momen-momen kehilangan, bagi saya hanya menyesakkan di awal,
kemudian, seiring waktu, ia berlalu. Saya masih percaya, orang-orang
yang pernah kehilangan, pada akhirnya akan baik-baik saja.
Saya akan ceritakan, bagaimana pada akhirnya saya berdamai dengan
rasa kehilangan. Termasuk ketika pada akhirnya saya dihadapi kenyataan
bahwa siap atau tidak, saya harus kehilangan kamu. Bahwa terima atau
menolak, saya harus terbiasa dengan ketiadaanmu. Dari pada berlarut
dengan penolakan yang tak merubah keadaan, atau menangisi hati yang
mendadak sepi, berdamai adalah cara saya untuk mengobati hati.
Saya belajar banyak dari pengalaman kehilangan sembilan handphone saya. Kehilangan dengan cara yang beda-beda dan rasa sakit yang juga tak sama. Pertama sekali kehilangan handphone, saat kelas 2 SMA, dengan cara dicuri seorang yang saya kenal. Saya sedih sejadi-jadinya. Selain sedih karena kehilangan handphone
di masa liburan yang membuat saya harus kehilangan kontak dengan pacar,
saya juga sedih merasa dihianati. Saya menangis di kamar, mengutuki
keadaan.
Beruntung, saya punya ayah jagoan. Ia selalu menanamkan nilai-nilai
bahwa apapun yang kita miliki di dunia ini, hanya titipan. Itu sebabnya,
apa yang menjadi milik kita bisa hilang kapan saja. Bisa jadi Tuhan
ingin mengingatkan kita untuk merawat benda kesayangan, atau bisa saja
benda kesayangan tak baik buat kita. Tuhan lebih tau.
Berpijak pada nilai-nilai itu lah, saya mencoba berdamai. Belajar mengikhlaskan. Sulit memang. Apalagi untuk kasus kehilangan handphone
yang pertama. Saya bahkan sempat dendam pada si pencuri. Tapi Ayah
meyakinkan saya kalau meratapi kehilangan tak akan mengembalikan apa
yang sudah hilang, ayah meminta saya untuk membiasakan diri hidup tanpa handphone sampai ayah punya uang untuk belikan saya yang baru. “Dulu kita juga tak pakai HP!” katanya.
Sejak saat itu hingga saya menulis ini, ada delapan momen kehilangan handphone lagi yang saya hadapi. Rasanya, tak seperih kehilangan yang pertama.
Begitu juga saat saya kehilangan kamu. Kalau kamu masih ingat, di
pembicaraan terakhir kita pada sebuah pagi yang gerimis. Tak pernah
sedkitpun saya menunjukkan reaksi (eksplisit atau implisit) untuk
mempertahankan hubungan kita. Atau untuk melarangmu ‘pergi’.
Barangkali kamu sempat merasa tak berharga, atau menganggap
keputusanmu untuk ‘pergi’ adalah keputusan tepat, karena toh saya tak
keberatan sama sekali. Tapi ya beginilah saya.
Pagi itu, saya sudah tahu tentang sesuatu yang kamu pikir saya belum
tau. Saya paham kalau saya harus kehilangan sosokmu, dan saya cukup
paham kenapa saya harus berusaha memahami kondisi itu. Saya putuskan
untuk memudahkan jalanmu. Saya hanya mencoba berdamai dengan keadaan dan
meyakinkan diri saya kalau Tuhan memang tak inginkan kamu dan saya
menjadi kita.
Saya memang tak pernah menangis setelah berakhirnya kita. Tapi bukan
berarti saya tak sedih. Saya tak perlu jelaskan apa yang saya rasakan
saat itu. Kamu tentu tau.
Sampai saat ini, saat ketika saya tak lagi berani untuk bilang rindu,
saat di mana jika saya mengirim pesan atau menyapamu akan diartikan
sebagai ‘mengganggu’, saya tak pernah menyesali bahwa kita pernah
bertemu dan saling rindu.
Terlepas dari semua kelakuanmu, atau beberapa kebohonganmu, saya tak
pungkiri kalau kamu ajarkan saya banyak hal. Tentang hidup, tentang
cinta, tentang menghianati dan dihianati, tentang kesetiaan juga tentang
harapan.
Bagi saya, kehilangan, baik itu karena kelalaian ataupun ‘korban
pencurian’ hanyalah sebuah proses dalam belajar untuk mengikhlaskan.
juga ada di sini
juga ada di sini
keren bro postnya :D
salam kenal dari blog ane http://sidetek.blogspot.com/