Rss Feed
  1. “Aku” di Mata Melayu

    Kamis, 29 Desember 2011





    Tulisan ini berawal dari pengalaman saya pribadi. Di rumah, pantang bagi siapapun menyebut dirinya dengan ‘aku’. Abah—panggilan saya kepada Ayah—bilang ‘aku’ itu tak sopan bagi orang melayu, itu saja. Tak pernah ada alasan yang ilmiah.


    Dalam budaya Melayu, penggunaan kata ganti nama aku dianggap kasar dan tidak sopan, terlebih jika yang menjadi lawan bicara lebih tua. Mereka biasa menggunakan kata ganti diri ‘awak’, saya, atau langsung menyebut nama. Sampai saat ini, saya tak tahu mengapa ‘aku’ dianggap tidak sopan, padahal ‘aku’ adalah Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

    Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ‘aku’ berarti kata ganti orang pertama yang berbicara atau yang menulis (dalam ragam akrab). Yang membedakan ‘aku’ dan ‘saya’ adalah ‘saya’ digunakan dalam ragam resmi atau biasa.

    Jika dilihat dari makna tersebut, sangat tepat lah menggunakan ‘aku’ dalam keluarga dan pertemanan. Tak ada yang salah dengan ‘aku’ dilihat dari maknanya, tapi kebanyakan orang Melayu tetap bertahan dengan apa yang sudah menjadi kebiasaan, menjadi tradisi. 

    Dalam kebudayaan Jawa, kata ganti ‘aku’ dianggap sopan. Hal yang sangat biasa jika seorang anak menggunakan kata ganti aku ketika berbicara dengan orang tuanya. Anggapan tidak sopan dengan kata ‘aku’ ternyata tak hanya tumbuh di masyarakat Melayu. Beberapa keluarga non-Melayu di Sumatera juga banyak yang menerapkan ini.

    Saya tak bilang budaya ‘mengharamkan aku’ itu salah. Hanya saja menimbulkan banyak pertanyaan di benak saya. Bahasa Indonesia toh berasal dari bahasa melayu. Saya pun tak menemukan makna negatif dari kata ganti ‘aku’. Lantas, mengapa ‘aku’ pantang digunakan? 

    Begitulah budaya, terkadang ia tak masuk akal, tak ilmiah. Tapi ia tetap diyakini dan diikuti. Ia sudah tertanam di benak setiap masyarakatnya. Namun, sebagai masyarakat modern tak ada salahnya untuk lebih membuka pikiran. Tidak terkungkung dalam kebudayaan atau tradisi. Agar kita bisa menyatakan ini baik atau buruk, ini benar atau salah dengan alasan yang diterima akal dan pikiran. 

    Saya seorang Melayu. Saya sering menggunakan ‘aku’.


  2. Senja Kita


    Benar katamu, akan sangat mudah bagi kita untuk membuat segala sesuatu selesai begitu saja.
    Aku yakin, kelak, kita akan sampai pada suatu titik ketika aku seperti tak pernah mengenalmu.
    Seperti kita tak pernah bicara, tak pernah berjalan seiring bersama,
    tak pernah meghabiskan senja yang jingga.
    Dan kita akan tetap baik-baik saja.


  3. Judul Buku : Kepada Seniman Universal (Kulmpulan Esai Sastra A.S. Dharta)
    Editor : Budi Setiyono
    Tahun Terbit : 2010
    Penerbit : Ultimus
    Tebal Buku : xxx + 246 Halaman


    “Kalau hanya mempersoalkan masalah perseorangan, tidak ada sangkut paut dengan masalah manusia banyak, maka ‘pikiran dalam’ itu hanya dalam dan dianggap berguna oleh beberapa gelintir orang. Dan ini adalah individualisme” –A.S. Dharta–

    A.S. Dharta adalah salah satu nama pena dari Endang Rodji. Ia menjadi sekretaris jendelral pertama Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) pada 17 Agustus 1950. Ia sudah memutuskan kodratnya: sastrawan turun dari ke-akuannya, berdiri di pihak yang tertindas, menghunus pedang-kata menghadang kaum penindas. Sastrawan mesti berani terus menerompetkan kebenaran. Sastrawan menegakkan tenaga raksasa di hati massa, menempa keyakinan granit di kalbu patriot, memelopori massa ke arah cita yang tinggi murni.

    Dharta memulai kritiknya terhadap angkatan 45 melalui sebuah esai berjudul Angkatan 45 Sudah Mampus. Esai tersebut cukup menggemparkan dan menimbulkan polemik di antara sastrawan Indonesia. Kritik-kritik lain terus dilontarkan melaui esai-esainya yang lain juga melalui sajak.

    Bagi Dharta, sebutan angkatan 45 tidak sesuai dengan makna angkatan 45 itu sendiri. Angkatan 45 bukan nama dari suatu angkatan yang menyerah, nama dari suatu angkatan yang perwira, nama dari suatu angkatan yang setiap hasil pekerjaannya bersumber pada prinsip revolusi nasional.

    Fakta yang terjadi, sajak-sajak Chairil Anwar—sastrawan yang dianggap pelopor angkatan 45—pun kebanyakan bukanlah sajak angkatan 45 menurut isi, kecuali “Kenanglah Kami” yang isi atau bentuknya benar-benar bernapaskan angkatan 45. Menurut Dharta, seorang sastrawan tak perlu disibukkan dengan sebutan angkatan ini itu. Biarlah ia besar dengan nama dan karyanya sendiri.

    Dalam esai-esainya juga tergambar bagaimana seorang Dharta sangat menentang sastra atau seni yang individualis. Individualis yang dimaksud adalah karya sastra atau seni yang hanya menonjolkan sisi kehidupan pribadi, tak berdampak bagi masyarakat.
    Buku ini adalah kumpulan esai-esai sastra dari seorang A.S Dharta. Budi Setiyono (Buset) membagi sajak-sajak tersebut ke dalam lima bagian. Bagian pertama—Menuju Realisme Sosialis—berisi esai-esai Dharta tentang kritik terhadap angkatan 45.

    Bagian ke dua—Kehidupan Kultural—memaparkan pendapat Dharta tentang kebudayaan dan sastra di negeri ini. Tulisan-tulisan yang menjawab kritik dan menilai karya sastra dirangkum dalam bagian Menilai dan Menjawab Kritik.

    Esai-esai Dharta tentang kesusatraan dunia disatukan dalam bagian Kesusastraan Dunia. Pada bagian terakhir, tulisan-tulisan Dharta tentang Lekra memberi penjelasan kepada pembaca, seperti apa kinerja Lekra.

    Nama A.S Dharta memang tak begitu dikenal masyarakat bangsa ini. Tak seperti Khairil Anwar, HB Jassin, Sanusi Pane, dan nama-nama sastrawan lain yang kerap kita dengar sejak di sekolah dasar. Dharta memang tak pernah muncul di buku-buku pelajaran Bahasa Indonesia. Mungkin karena ia dianggap dekat dengan komunis.

    Sebelum membaca buku ini, ada baiknya memahami sejarah kesusastraan Indonesia sejak tahun 1945. Karena jika tidak, pembaca akan sedikit kebingungan dan sulit memahami esai-esai yang ditulis Dharta karena editor tak memberi penjelasan di tiap akhir esai Dharta.

    Juga dimuat di www.suarausu-online.com

  4. Tentang Merawat Harapan

    Senin, 14 November 2011


    “Yang harus kita lakukan hanyalah merawat harapan”

    Itu isi pesan singkatmu waktu itu. Mungkin kau pun sudah lupa pernah menuliskannya untukku.

    Kalimat itu aku tulis di selembar kertas dan aku tempel tepat di samping tempat tidur di kamar kosku dulu. Alasannya sederhana, untuk mengingatkan diri sendiri agar terus merawat harapan. Aku membacanya tiap akan dan bangun tidur.

    Pertama kali mendengar kalimat itu, pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana cara merawat harapan? Apakah ia seperti merawat tanaman? Atau merawat hewan peliharaan? Merawat orang sakit barangkali?

    Atau mungkin ia lebih mirip merawat rumah? Kendaraan? Elektronik?

    Harapan adalah sumber masalah, tanpa harapan, tak akan ada masalah—jika masalah didefinisikan sebagai kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Apakah merawat harapan berarti merawat sumber masalah?

    Jelas tidak, jika kenyataan sesuai dengan harapan yang dirawat.

    Bagaimana jika kenyataan memaksa kita untuk merawat harapan dalam jangka waktu yang tak tentu? Ketika kita merawat harapan, kita tentu tak ingin terus merawatnya. Kita tentu ingin suatu saat menghadapi kenyataan yang sesuai dengan harapan. Kata harapan dihapus dan diganti dengan kenyataan.

    Merawat harapan mungkin seperti bermimpi dan terus tidur. Kita tak diberi waktu untuk bangun, bangkit, dan mewujudkan mimpi menjadi kenyataan. Merawat harapan berarti membiarkannya terus menjadi harapan. Berlapis-lapis harapan. Benarkah begitu?

    Entahlah, aku pun bingung mendefinisikannya. Seperti kita, yang belum dan mungkin tak akan pernah terdefinisi.

  5. Belajar dari Tan Malaka

    Sabtu, 02 Juli 2011

    Pendidikan adalah membangun proses berpikir, membudayakan dialektika, dan menghaluskan perasaan –Tan Malaka–

    Bayangkan apa jadinya peradaban manusia tanpa adanya pendidikan. Pendidikan yang saya maksud tak hanya pendidikan formal, tapi juga pendidikan nonformal. Pada dasarnya, manusia memang harus dididik.

    Indonesia memiliki lembaga pendidikan formal. Bukan cuma Indonesia, seluruh negara di dunia ini pastilah punya lembaga pendidikan formal. Tujuannya apa? Untuk menciptakan manusia-manusia yang bermutu.

    Pertanyaannya adalah sudahkah lembaga pendidikan di Indonesia benar-benar membangun proses berpikir, membudayakan dialektika, dan menghaluskan perasaan? Barangkali boleh saya bilang ‘tidak’.

    Menurut Tan Malaka, proses pembelajaran itu harus menyenangkan. Meminimalkan proses ceramah, dan tidak sekedar mendistribusikan pengetahuan. Namun proses pembelajaran semestinya memproduksi pengetahuan. Bagaimana Indonesia bisa memproduksi pengetahuan kalau peserta didik hanya dijadikan mesin penghafal?

    Guru atau dosen hanya menjadi mesin distribusi, mentransfer pengetahuan yang sudah ada kepada seluruh peserta didik. Kemudian, pengetahuan yang sudah didistribusikan tersebut haruslah dihafal oleh peserta didik. Di akhir semester, digelar ujian. Peserta didik harus menuliskan kembali pengetahuan yang sudah dihafalnya.

    Seluruh pemikiran ilmuwan Barat dilahap bulat-bulat. Tanpa filter, tanpa kritisi, tanpa proses dialektika. Ya bagaimana bisa mengkritisi, kalau budaya yang diciptakan sekolah dan perguruan tinggi hanyalah budaya menghafal?

    Di kampus atau sekolah, guru dan dosen bertindak seperti diktator. Semua aturan dalam proses belajar mengajar diatur secara sepihak. Contoh sederhana, peserta didik dilarang makan selama proses belajar mengajar, dilarang datang terlambat, dilarang mengeluarkan baju, dilarang pakai sendal, dilarang memanjangkan rambut, dilarang ini, dilarang itu.

    Tak ada kesepakatan sebelumnya, aturan itu dibuat begitu saja, dan pastinya larangan itu tak berlaku bagi si dosen atau guru itu sendiri. Tak apa jika mereka datang terlambat, tak apa jika mereka makan di kelas, pakai sandal, mengangkat telepon, dan sebagainya. Pokoknya ya begitu. Tak boleh protes, tak boleh dikritisi. Peserta didik pun ikut saja aturan-aturan sepihak itu. Alasannya hanya satu, agar mendapat nilai bagus.

    Tan Malaka meyakini, peserta didik haruslah diberi kepercayaan dan kemerdekaan untuk mengatur segala urusannya di sekolah sesuai aturan yang disepakati bersama. Apa yang diyakini Tan Malaka itu, tak pernah saya rasakan hingga saat ini saya duduk di perguruan tinggi. Saya tak pernah diajarkan untuk berpikir merdeka dan merdeka dalam berpikir.

    Saya jadi ingat sebuah pertemuan dengan Butet Manurung—perempuan yang merelakan waktunya untuk memberi pendidikan bagi anak-anak Suku Anak Dalam di Jambi—Februari tahun lalu. “Anak rimba itu lebih kritis daripada anak kota,” papar Butet.

    Butet menceritakan mereka selalu menanyakan segala hal. Termasuk pertanyaan “Untuk apa kami belajar perkalian? Kami kan sudah bisa penjumlahan.” Butet lalu menjelaskan tentang konsep perkalian, tapi tetap saja anak-anak itu tidak mau belajar perkalian. Alasan mereka cukup logis, “Kami sudah bisa penjumlahan, kalau banyak, ya kami jumlahkan saja.” Butet pun memutuskan untuk tak mengajarkan perkalian.

    Sampai suatu hari, anak-anak itu merasa kesulitan menghitung ketika berbelanja di Pasar—karena jumlah item belanjaan yang banyak. Mereka ingat penjelasan Butet tentang perkalian, lantas mereka setuju untuk diajarkan perkalian oleh Butet.

    Bandingkan pemikiran mereka dengan pemikiran anak-anak Kota. Pernahkah anak-anak kota itu bertanya mengapa harus pakai seragam sekolah? Mengapa harus datang tepat waktu? Mengapa harus belajar ini itu? Bisa saya pastikan tak pernah. Karena lembaga pendidikan di negeri ini tak memberi ruang untuk dikritisi. Tidak membudayakan pemikiran kritis sejak dini.

    Menurut Tan Malaka, guru haruslah bertindak sebagai motivator dan fasilitator. Bukan diktator. Apa yang dilakukan Butet Manurung, agaknya sudah mencerminkan guru seperti dimaksud Tan Malaka.

    Dalam hal menghaluskan perasaan, Tan Malaka berpendapat perasaaan siswa harus diasah untuk memiliki keberpihakan pada kaum tertindas. Siswa juga harus dididik untuk memiliki penghargaan yang sama pada pekerjaan kasar dan kerja otak. Selain itu, siswa harus didorong untuk memiliki keberanian berbicara.

    Tahun 2005, telah dilakukan perubahan acuan dasar penyelenggaraan dan satuan pendidikan. Peraturan Pemerintah No 19/2005 Pasal 19 menyebutkan bahwa “Satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai bakat, minat, dan perkembangan fisik dan psikologis peserta didik”.

    Namun pada praktiknya, belumlah sesuai dengan acuan tersebut. Di sekolah, guru masih mendominasi pembelajaran melalui ceramah. Maklum saja, pengalaman belajar guru-guru itu memang ceramah. Guru juga masih melanggar prinsip guru sebagai fasilitator dan motivator. Dominasi guru dalam pembelajaran membuat peserta didik hanya menjadi objek dalam belajar.

    Yang saya paparkan hanyalah masalah dalam proses pembelajaran. Ada banyak lagi masalah dalam pendidikan di negeri ini sebenarnya. Perlu adanya pembenahan besar-besaran pada konsep pendidikan kita, pada praktik pembelajaran di kelas. Bagaimana caranya? Saya serahkan kepada petinggi-petinggi negeri ini yang pastilah memiliki ilmu jauh lebih banyak dari saya. Tak cukup hanya dengan perubahan undang-undang. Mereka harus memikirkan dampak pada tataran praktik di kelas.

  6. Senyap.
    Tak ada suara.
    Hanya ada air mata.

  7. Tak Seperti April Lalu

    Kamis, 30 Juni 2011

    Angin yang sama seperti April lalu
    Sama-sama dingin
    Sama-sama ngilu
    Beruntung aku masih bisa mendengar suara yang sama seperti April lalu
    Sama-sama berat
    Sama-sama hangat
    Tapi sayang, sore ini tidak sama seperti sore April lalu
    Tidak sama cerah
    Tidak sama indah
    (Sembari menunggu pesawat yang terlambat berangkat, Soekarno-Hatta, 31 Juli 2010)