Rss Feed
  1. Thought

    Rabu, 30 Januari 2013



    Akan aku apakan hidup yang barangkali tidak lama?




    Di malam-malam sebelum tidur, saat lampu kamar sudah dimatikan, playlist ‘Go to Bed’ sudah diputar, tapi mata belum terpejam, otak masih berpikir, dan kuping masih mendengar,  aku seringkali menatap langit-langit kamar, lalu berpikir tentang sesuatu.

    Aku. Akan jadi apa aku? Akan aku apakan hidupku? Apa aku mampu jadi sesuatu dengan berbuat sesuatu? Apa sisa hidupku cukup untuk mewujudkan mimpi satu demi satu? Dan apakah mimpiku hanya mimpi-mimpi egois sebagai invidu? 

    Aku menggarisbawahi frase mimpi-mimpi egois sebagai individu. Belakangan, frase itu cukup menghantui. Aku takut, mimpiku hanya mimpi yang individualis. Karena jika sudah begitu, yang akan aku pikirkan hanyalah hidupku, pencapaianku, kebahagiaanku. Di titik ini, aku merasa, manusia tak sepantasnya begitu. Atau barangkali sudah sifat dasar manusia itu begitu?




  2. Mencari dan mengolah Nira. Foto-foto: Andika Bakti.

    Jika dari Berastagi hendak ke Danau Lau Kawar, kita akan melewati sebuah kuta bernama Torong. Kuta adalah bahasa Karo yang sepadan dengan desa bagi Indonesia/Jawa. Torong masih di kawasan Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Di sini ada deretan lapo tuak yang terletak di kedua sisi jalan. Lapo sendiri merupakan bahasa Batak yang berarti kedai. Dan lapo tuak adalah sebutan bagi kedai yang menu utamanya adalah tuak.



  3. Berdamai dengan Kenyataan

    Sabtu, 05 Januari 2013

    Tak ada yang perlu disesali dari sebuah peristiwa bernama kehilangan. Karena ia dirancang oleh Tuhan bukan tanpa alasan. Saya termasuk orang yang cukup sering merasakan ‘kehilangan’ sesuatu yang saya butuh dan sayang. Momen-momen kehilangan, bagi saya hanya menyesakkan di awal, kemudian, seiring waktu, ia berlalu. Saya masih percaya, orang-orang yang pernah kehilangan, pada akhirnya akan baik-baik saja.

    Saya akan ceritakan, bagaimana pada akhirnya saya berdamai dengan rasa kehilangan. Termasuk ketika pada akhirnya saya dihadapi kenyataan bahwa siap atau tidak, saya harus kehilangan kamu. Bahwa terima atau menolak, saya harus terbiasa dengan ketiadaanmu. Dari pada berlarut dengan penolakan yang tak merubah keadaan, atau menangisi hati yang mendadak sepi, berdamai adalah cara saya untuk mengobati hati.

    Saya belajar banyak dari pengalaman kehilangan sembilan handphone saya. Kehilangan dengan cara yang beda-beda dan rasa sakit yang juga tak sama. Pertama sekali kehilangan handphone, saat kelas 2 SMA, dengan cara dicuri seorang yang saya kenal. Saya sedih sejadi-jadinya. Selain sedih karena kehilangan handphone di masa liburan yang membuat saya harus kehilangan kontak dengan pacar, saya juga sedih merasa dihianati. Saya menangis di kamar, mengutuki keadaan.

    Beruntung, saya punya ayah jagoan. Ia selalu menanamkan nilai-nilai bahwa apapun yang kita miliki di dunia ini, hanya titipan. Itu sebabnya, apa yang menjadi milik kita bisa hilang kapan saja. Bisa jadi Tuhan ingin mengingatkan kita untuk merawat benda kesayangan, atau bisa saja benda kesayangan tak baik buat kita. Tuhan lebih tau.

    Berpijak pada nilai-nilai itu lah, saya mencoba berdamai. Belajar mengikhlaskan. Sulit memang. Apalagi untuk kasus kehilangan handphone yang pertama. Saya bahkan sempat dendam pada si pencuri. Tapi Ayah meyakinkan saya kalau meratapi kehilangan tak akan mengembalikan apa yang sudah hilang, ayah meminta saya untuk membiasakan diri hidup tanpa handphone sampai ayah punya uang untuk belikan saya yang baru. “Dulu kita juga tak pakai HP!” katanya.

    Sejak saat itu hingga saya menulis ini, ada delapan momen kehilangan handphone lagi yang saya hadapi. Rasanya, tak seperih kehilangan yang pertama.

    Begitu juga saat saya kehilangan kamu. Kalau kamu masih ingat, di pembicaraan terakhir kita pada sebuah pagi yang gerimis. Tak pernah sedkitpun saya menunjukkan reaksi (eksplisit atau implisit) untuk mempertahankan hubungan kita. Atau untuk melarangmu ‘pergi’.

    Barangkali kamu sempat merasa tak berharga, atau menganggap keputusanmu untuk ‘pergi’ adalah keputusan tepat, karena toh saya tak keberatan sama sekali. Tapi ya beginilah saya.

    Pagi itu, saya sudah tahu tentang sesuatu yang kamu pikir saya belum tau. Saya paham kalau saya harus kehilangan sosokmu, dan saya cukup paham kenapa saya harus berusaha memahami kondisi itu. Saya putuskan untuk memudahkan jalanmu. Saya hanya mencoba berdamai dengan keadaan dan meyakinkan diri saya kalau Tuhan memang tak inginkan kamu dan saya menjadi kita.

    Saya memang tak pernah menangis setelah berakhirnya kita. Tapi bukan berarti saya tak sedih. Saya tak perlu jelaskan apa yang saya rasakan saat itu. Kamu tentu tau.

    Sampai saat ini, saat ketika saya tak lagi berani untuk bilang rindu, saat di mana jika saya mengirim pesan atau menyapamu akan diartikan sebagai ‘mengganggu’, saya tak pernah menyesali bahwa kita pernah bertemu dan saling rindu.

    Terlepas dari semua kelakuanmu, atau beberapa kebohonganmu, saya tak pungkiri kalau kamu ajarkan saya banyak hal. Tentang hidup, tentang cinta, tentang menghianati dan dihianati, tentang kesetiaan juga tentang harapan.

    Bagi saya, kehilangan, baik itu karena kelalaian ataupun ‘korban pencurian’ hanyalah sebuah proses dalam belajar untuk mengikhlaskan.



    juga ada di sini