Perjalanan, seperti apapun rupanya, tentu
membahagiakan. Bahkan ketika salah memilih jalan, kehabisan makanan, terlambat
pulang, dan terpaksa harus membuat repot banyak orang.
Minggu malam
di penghujung April, kaki saya yang gemetaran karena lelah berjalan terperosok
masuk jurang. Pandangan pun mulai gelap. Tangan kiri saya reflek menyambar
rimbun dedaunan dengan trekking pole
masih tergenggam erat di tangan kanan. Kematian terasa dekat waktu itu.
Beruntung seorang
rekan mendaki bernama Rezza—dan memang hanya ada satu orang rekan mendaki—yang berada
sekitar tiga meter di depan langsung berbalik badan dan menarik badan saya yang
setengahnya masih mendarat di jalur pendakian. Saya gagal masuk jurang.
Dua hari sebelum
malam itu, tepatnya Kamis 24 April 2015, kami tiba di Desa Baderan, kecamatan
Sumbermalang, kabupaten Situbondo pukul 4 sore. Baderan adalah salah satu pintu
masuk ke kawasan Gunung Argopuro, gunung dengan ketinggian 3.088 meter.
Ojek yang membawa
kami dari Besuki, mengantarkan tepat di
depan pintu basecamp pendakian.
Seorang lelaki bernama Samhaji menyambut kedatangan kami. Lewat telepon genggam
yang diletakkannya di jendela dapur—karena sinyal cuma ada di sekitaran jendela
itu—Samhaji menghubungi atasannya yang bernama Susiono, Kepala Resort
Konservasi Yang Timur.
“Ada dua
pendaki ini, Pak,” lapornya dengan aksen khas Madura.
Samhaji
sempat menawarkan jasa ranger karena
melihat kami cuma berdua. Tapi tawaran itu kami tolak. Selain karena alasan
penghematan, naik gunung dengan ranger
juga semacam menjadi manja. Akhirnya Samhaji dan atasannya setuju kalau kami
naik hanya berdua. Dia juga sedikit menjelaskan medan dan perkiraan waktu
tempuh. Cerita soal jalur ke Cisentor yang sering membuat pendaki nyasar ke
arah Jember pun tidak alpa dari ceritanya.
Sore itu,
kami sama sekali tidak membayangkan kalau kelak, di akhir cerita, kehadiran
kami di basecamp Baderan ini akan
menjadi cerita yang dimanipulasi.
Karena sudah
terlalu sore untuk memulai pendakian, kami memutuskan menginap semalam di
Basecamp Baderan. Sebelum istirahat, kami kembali ke ruangan Samhaji guna menyelesaikan
pembayaran karcis masuk Argopuro.
Sesuai
ketentuan dalam banner yang terpajang
di ruangan itu, untuk kepentingan pendakian, setiap pendaki dikenakan Rp20.000
per hari. Itu artinya, untuk pendakian selama empat hari, kami berdua harus
membayar Rp160.000. Tetapi Samhaji menyatakan dia memberi diskon, jadilah kami
hanya membayar Rp140.000.
Sekitar
pukul 12 malam, enam orang pendaki yang semuanya lelaki tiba dan menginap
bersama kami di basecamp. Sekitar
satu atau dua jam setelah itu, sebuah mobil sedan masuk ke pekarangan basecamp. Jumat pagi, ketika pamit untuk
mendaki, saya ketahui bahwa mobil itu milik Susiono, atasan Samhaji.
“Hati-hati
ya!” ujar Susiono saat saya menjabat tangannya untuk pamit pada pukul 6 pagi.
Karena waktu
pendakian yang kami miliki tidak cukup panjang, kami memulai pendakian lebih
pagi dari enam kawan pendaki yang datang belakangan. Mereka akan mulai mendaki
pukul 10. “Sampai ketemu di Cikasur,” kata saya.
Cikasur
adalah padang sabana luas yang biasa dijadikan tempat nge-camp para pendaki. Di sana ada sungai dan selada air yang rasanya
serupa bayam jika ditumis.
Untuk
menghemat waktu, kami pun menggunakan jasa ojek dari basecamp sampai ke hutan. Kalau jalan kaki, waktu tempuh sekitar 3 jam. Dengan sepeda motor, kami
menghemat 2,5 jam. Dengan membayar Rp35.000 per orang, Samhaji dan seorang
rekannya mengantarkan kami. Jalur bebatuan bersanding jurang dilalui dengan
motor bebek tanpa pengamanan membuat saya beberapa kali menahan napas karena
ketakutan.
“Ini ban
motornya udah diganti yang khusus buat off
road ya pak?” tanya saya pada Samhaji yang membonceng saya.
“Enggak, ban
biasa aja,” jawabnya. Saya makin ketakutan. Rasa takut yang berhasil saya
kaburkan dengan tertawa.
Sekitar pukul 6.45, kami mulai berjalan. Menurut
Samhaji, untuk tiba di mata air satu, kami butuh berjalan empat jam. Tetapi
karena kecepatan berjalan saya yang cukup lamban, kami baru tiba di mata air
satu pukul 1 siang. Di sini tapak sepatu sebelah kiri saya mulai lepas.
Sembari
rekan saya mengisi persediaan air, saya menyiapkan makan siang. Ikan sarden dan nasi jagung pemberian Samhaji jadi menu makan siang kami. Selesai makan dan
mengelem tapak sepatu, kami lanjutkan perjalanan ke mata air dua. Menurut
Samhaji, waktu tempuh antara mata air satu dan dua hanya dua jam. Namun
lagi-lagi, kami baru tiba di mata air dua pukul 5 sore, dan lem yang saya
oleskan ke tapak sepatu yang lepas tidak cukup kuat. Di mata air dua, saya
kembali mengoleskan lem di tapak sepatu, agar tetap bisa berjalan.
Kami sempat bertemu seorang petani di sini
dan bertanya seberapa jauh Cikasur dari mata air dua. “Dua jam,” katanya. Lalu
saya perhatikan cara ia berjalan. Dia tidak berjalan, tetapi berlari. Prediksi
saya, kami masih buth empat jam untuk sampai ke Cikasur. Hari mulai gelap dan gerimis, kami melanjutkan
perjalanan dengan jas hujan dan senter. Tebalnya kabut membuat jarak pandang
sangat pendek.
Sampai pukul 8 malam, hujan belum berhenti
dan kami belum sampai di Cikasur. Melihat kondisi saya yang melemah, rekan saya
menawarkan untuk mendirikan tenda, istirahat, dan melanjutkan perjalanan
keesokan paginya.
Kami mulai berjalan pukul 10 pagi dan baru
tiba di Cikasur jam 2 siang. Kecepatan berjalan saya yang tidak cepat semakin
melambat. Di Cikasur kami sempat bertemu tiga orang pendaki yang memutuskan
berbalik arah ke Baderan karena gagal mencapai Cisentor, tujuan kami setelah
Cikasur.
Pukul 10 malam, kami tiba di Cisentor.
Tidak ada pendaki yang sedang bermalam di sana. Hanya ada kami. Perjalanan ke
puncak pun kami batalkan mengingat tiket pulang ke Jakarta yang sudah dibeli
dan jadwal cuti yang hanya empat hari.
Usai bermalam di Cisentor, kami
melanjutkan perjalanan ke Danau Taman Hidup untuk kemudian turun lewat Desa Bremi.
Jalur Cisentor-Danau Taman Hidup terbilang cukup sadis. Cukup banyak tanjakan
dan ilalang yang tingginya melewati kepala. Sebagian jalur juga berada tepat di
tepi jurang. Sepatu saya yang tapaknya sempat lepas sudah tidak bisa
diselamatkan. Si rekan mendaki memutuskan meminjamkan sepatunya pada saya
sementara dia menggunakan sandal jepit.
Dalam
perjalanan inilah saya nyaris masuk jurang. Saat itu saya sama sekali tidak
berpikir bahwa nantinya, akan ada lagi kejadian yang lebih mendebarkan dari
ini.
Karena belum
juga tiba di Danau Taman Hidup sampai jam 7 malam, tenda pun kami dirikan di
jalur yang agak lapang dan melanjutkan perjalanan keesokan paginya. Kami berhasil menginjakkan kaki di Danau Taman
Hidup pukul 11 siang hari Senin.
Ada empat orang warga yang sedang
memancing di danau yang sempat kami ajak berbincang waktu itu. Menurut mereka,
perjalanan ke desa Bremi hanya sekitar 2,5 jam lagi. Ya, kami memang tidak naik
dan turun dari desa yang sama. Kami naik dari Baderan dan memutuskan turun
lewat Bremi.
Tepat pukul 12 siang, kami
melanjutkan perjalanan. Lalu tiba di perempatan dan salah memilih jalan.
Pemilihan jalan yang ternyata salah itu kami lalui dengan sejumlah argumentasi
logis. Saya memilih jalan yang benar menuju desa Bremi, rekan saya memilih
jalur yang lain. Dia menyusuri jalur yang salah itu beberapa meter dan melihat
tanda-tanda ikatan pita, khas tanda pada jalur pendakian yang sebelumnya kami
lewati. Atas fakta itu, saya percaya kalau jalur yang dipilih rekan saya adalah
benar.
Jalur itu diawali dengan
tanjakan beberapa ratus meter. Selanjutnya, medan yang kami hadapi adalah
turunan cukup terjal. Hujan yang ikut mengguyur membuat saya beberapa kali terpeleset,
terjatuh, terperosok, hingga terjungkal. Entah berapa kali saya menangis
kesakitan.
Setelah sekitar dua jam
berjalan, kami menyadari bahwa jalur yang kami lalui bukanlah jalur yang biasa
dilewati pendaki. Dari beberapa catatan perjalanan pendaki Argopuro yang dibaca
rekan saya, disebutkan kalau jalur dari taman hidup ke desa cukup landai.
Sementara medan yang sedang kami hadapi jelas tidak landai.
Kami kemudian berpikir
kalau kami sedang melewati jalur berbeda dengan tujuan yang sama. Terlebih
ketika kami mendengar dentuman musik dangdut. Asumsi kami musik itu tentu
berasal dari desa, dan karena musik itu terdengar, artinya desa tidak jauh
lagi. Kami memutuskan melanjutkan perjalanan.
Setelah lima jam berjalan
dan merosot, tidak ada tanda-tanda akan keberadaan desa. Jalur yang kami lalui
terhadang sungai. Tetapi sungai itu bisa disebrangi, dan ada jalur di seberang
sungai. Kami pun mengikuti jalur itu.
Sekitar satu jam berjalan
dari sungai, hari mulai gelap. Rekan saya mulai ragu dan menyesal telah
memilih jalur yang salah. Saya yakin jalur itu akan berujung di desa, sementara
dia tidak. Kami lalu memutuskan kembali ke pinggir sungai dan mendirikan tenda.
Saat itu makanan yang
tersisa hanya satu bungkus mi instan, gula, mentega, meses, beras, dan beberapa
bungkus kopi instan. Tetapi sayang, kami kehabisan bahan bakar. Hujan yang
terus mengguyur juga menjadikan kayu dan ranting sulit dibakar. Sebungkus mi
instan dan air sungai dingin pun terasa nikmat waktu itu. Kami juga membuat air
gula untuk menambah tenaga.
Kaki rekan saya yang hanya
memakai sandal jepit tampak luka-luka. Belum lagi beberapa ekor pacat
dan lintah yang menempel di kakinya membuat darah tampak ada di mana-mana. Beberapa
luka yang tampak cukup lebar, saya bersihkan dengan antiseptik yang kemudian
ditutupi kasa.
Malam itu Rezza tampak pulas sementara saya kesulitan tidur. Saya
terus-terusan berpikir apa yang harus kami lakukan esok pagi. Pilihannya ada
dua, melanjutkan perjalanan menyeberangi sungai, atau kembali ke perempatan
tempat kami salah memilih jalur.
Saya agak berat hati untuk
kembali ke atas. Persoalannya adalah kami sudah kehabisan bekal dan tenaga.
Kalau jalur turun saja kami menghabiskan lima jam, saya perkirakan kami butuh
delapan jam untuk kembali ke perempatan. Delapan jam dengan tanjakan terjal tanpa
makanan.
Tetapi memilih untuk
melanjutkan perjalanan menyeberangi sungai juga seperti berjudi. Kami tidak
tahu ujung dari jalur itu. Kami tidak tahu berapa lama sampai di desa, itu pun
kalau memang benar jalur itu menuju desa.
Seorang nenek dan anak kecil
tiba-tiba turun dari jalur yang kami lalui siang tadi. Saya lalu bertanya
kemana tujuan mereka.
“Ke desa,” jawab si nenek.
Saya sumringah dan
langsung menanyakan arah. Si nenek dan anak kecil yang kelihatan seperti
cucunya itu tampak menyeberangi sungai. “Desa tidak jauh dari sini,” teriaknya.
Saya terbangun, dan entah
kenapa merasa lega. Sosok nenek dan anak kecil itu berasal dari mimpi saya.
Mereka tidak nyata.
Pagi harinya, saya ceritakan mimpi itu. Saya sendiri tidak yakin,
apakah itu semacam petunjuk yang benar, atau malah menyesatkan.
“Ikuti aja yuk, kali aja itu petunjuk dari Tuhan, lewat mimpi kamu,”
kata Rezza. Saya setuju, dan kami memilih kembali menyeberangi sungai. Beberapa
baju basah yang kami pakai dalam perjalanan kami tinggalkan di pinggir sungai
untuk mengurangi beban. Saya juga mengirim pesan ke salah satu grup whats app, meminta mereka menghubungi
saya begitu membaca pesan itu. Saat itu tidak ada sinyal.
Hari itu sebenarnya saya dan Rezza sudah harus masuk kerja. Kami
bekerja sebagai reporter di Harian Bisnis Indonesia. Agar tidak menimbulkan kebingungan di kantor, saya
sempatkan mengirim pesan pada redaktur saya, menjelaskan dengan sangat singkat
apa yang terjadi.
Sekitar dua jam berjalan,
jalur yang kami lewati semakin tidak jelas karena longsor. Saya terpaksa
merangkak di beberapa titik. Rekan saya kembali ragu. Tiba-tiba ponsel saya
berbunyi, ada pesan masuk. Ketika ponsel saya keluarkan dari tas, seorang rekan
yang biasa saya sapa Teh Endang menghubungi. Saya jelaskan kami di mana dan
seperti apa kondisi kami. Saya kemudian minta tolong The Endang menghubungi
Pak Samhaji untuk menanyakan jalur. Tetapi nomor Samhaji tak bisa dihubungi.
Sembari menunggu kabar
dari Teh Endang, saya menghubungi seorang sahabat bernama Anas untuk mengabarkan
pada orang tua saya, bahwa saya akan terlambat turun dari gunung karena hujan
deras. Ya, saya melarang Anas menceritakan yang sebenarnya, agar mereka
tidak panik. Lagipula, saya yakin, kami pasti akan segera pulang.
Tidak lama kemudian, Hendry, teman saya yang lain juga menelepon. Dia
bilang akan kontak teman-temannya untuk cari bantuan terkait jalur.
Lalu masuklah pesan dari Teh Endang, “Upa, barusan aku nelp Pak
Susiono, dia menyarankan lo balik arah ke taman hidup, pertigaan itu harusnya
lo ambil jalur lurus ke kanan,” katanya.
Aku melengos. Membayangkan tanjakan curam yang kemarin kami lalui
selama lima jam untuk turun. Kalau
naik, mungkin akan lebih lama karena kami harus memanjat. Dan saat itu, kami
sudah kehabisan makanan. Hanya ada sedikit meses dan margarin. Tetapi kami
tidak punya pilihan, kami putuskan untuk kembali.
Perjalanan memanjat dengan
kondisi fisik melemah itu juga ditemani gerimis yang membuat jalur semakin
licin. Di pertengahan jalan, sandal jepit Rezza putus. Jadilah dia berjalan
tanpa alas kaki.
Ketika kami kembail
mendapat sinyal, saya kembali mengirim pesan ke Teh Endang untuk dikirimkan ranger. Saya kuatir kami tidak bisa
sampai ke pertigaan taman hidup dengan kondisi fisik seperti itu. Sembari
menunggu bantuan ranger, kami tetap
berjalan pelan-pelan.
Sampai pukul 5 sore, tidak
ada satupun orang yang kami temui. Kami terus berjalan. Saya merasa benar-benar
kehabisan tenaga saat itu, mungkin hanya naluri bertahan hidup yang menuntun
untuk terus berjalan. Kami tiba di pertigaan Danau Taman Hidup pukul 6.30 malam
dan hari sudah gelap. Tidak ada orang.
Rekan saya sempat
menawarkan untuk terus berjalan turun ke desa, tapi saya merasa sudah terlalu
lelah. Akhirnya kami memutuskan mendirikan tenda di jalur, agar jika ada yang
lewat, kami bisa mendengar langkah mereka.
Sampai tengah malam, kami
belum bertemu siapapun. Sementara beberapa rekan mengirim pesan, menanyakan
apakah benar kami sudah bersama tim SAR sebab mereka mendapat kabar demikian.
Kenyataannya, kami tidak bersama siapa-siapa.
Baru pada jam 7 pagi,
seorang bapak berteriak “Assalamualaikum”. Mendengarnya, saya langsung
sumringah. Pak Arifin dan seorang temannya memang menjemput kami. Dia membawa
gas dan mi instan, tapi sayangnya kompor kami berbahan baka spritus, bukan gas.
Jadilah mi instant itu kami makan dengan air dingin.
Saya sempat ceritakan
mimpi saya pada Pak Arifin dan dia membenarkan petunjuk pada mimpi itu. “Kalau
kalian terus ikuti jalur itu, sekitar 2 jam kalian akan sampai di desa,”
katanya.
Saya lalu ingat pada pesan
Susiono yang menyuruh kami kembali. “Sial!” batin saya. Tapi sudahlah. Setidaknya kami sudah aman saat itu.
Usai makan, kami berbenah
dan merapikan tenda. Kami harus berjalan sekitar lebih dari satu jam untuk
mencapai tenda Pak Arifin. Dia memutuskan berjalan duluan agar bisa menyiapkan
makanan.
Lebih dari satu jam
berjalan, kami tak kunjung menemukan tenda Pak Arifin, tapi kemudian tampak
sosok Pak Samhaji menyusul kami. Sambil memapah saya yang kesulitan berjalan, dia
lalu meminta kami agar mengatakan kalau kami masuk tanpa izin jika nanti ada
pihak yang menanyakan. Samhaji bilang, permintaan itu atas perintah atasannya,
Susiono. Samhaji tampak ketakutan dan memohon agar kami berbohong. Saya sempat
bertanya, memangnya kenapa kalau kami mengatakan yang sebenarnya?
“Nanti kami dianggap
lalai,” katanya. Saya pun mengiyakan, semacam tidak tega jika Samhaji harus
terkena imbas dari kelalaian kami yang salah memilih jalan.
Sampai di tenda Pak
Arifin, nasi dan mi telah matang, kami pun langsung makan. Saya memilih makan
roti sebab maag sudah kambuh. Saat selesai makan dan bergegas untuk turun, tim
SAR datang bersama seorang wartawan. Melihat mereka kelelahan, jadilah kami
menunggu mereka melepas lelah.
Kami mulai berjalan
sekitar pukul 10. Dalam perjalanan ke desa, saya terus dipapah oleh Samhaji,
dengan beberapa orang tim SAR ikut berjalan di belakang. Pak Arifin jalan
duluan dengan langkah yang begitu cepat. Katanya dia akan mengabil motor dan
menjemput kami sampai jalurnya memungkinkan.
Saat jalur sudah mulai
masuk perkebunan warga, saya dan Rezza dijemput Pak Arifin dengan sepeda
motornya. Dia dengan lihai membawa kami berdua melewati jalan bebatuan.
“Samhaji bilang apa tadi?“
tanyanya.
Seolah paham apa maksud
Pak Arifin, kami jelaskan kalau kami diminta berbohong tentang izin masuk. Saya
tidak ingat persis kalimat yang diucapkan Pak Arifin setelah itu, yang jelas,
dia tampak tidak setuju dengan permintaan Samhaji. Belum sempat bertanya
alasannya, kami sudah sampai pada truk milik tim SAR. Kerumunan wartawan tampak
menunggu, pertanyaan dan kamera mereka terasa cukup mengganggu.
Tetapi karena empati
sesama wartawan dan paham rasanya menunggu narasumber, saya minta ke rekan saya
untuk jawab saja pertanyaan mereka.
Sampai di Pos Bremi, kami
diminta masuk ke ruangan. Di ruangan itu tampak Susiono sedang duduk dan
beberapa orang tim SAR. Kami kemudian diminta menceritakan kronologis
kedatangan. Kami menceritakan semuanya dengan detail, tetapi kami berbohong
tentang izin masuk.
Reaksi mereka di luar dugaan
saya. Terlebih Susiono. Kami diperlakukan seperti penjahat yang masuk tanpa
izin. Susiono kemudian mengatakan bahwa sebenarnya mereka tidak bertanggung
jawab atas keselamatan kami, karena kami pendaki illegal. Padahal Susiono tahu
kalau kami sudah membayar karcis masuk dan kami sempat bertemu di pagi sebelum
mendaki.
Saya dan rekan saya
memutuskan hanya diam diperlakukan demikian. Yang saya pikirkan waktu itu
hanyalah bagaimana ini cepat selesai dan kami bisa segera pulang.
Beruntung, rekan sekantor
di Biro Malang datang menjemput kami, saat mereka tahu kalau kami wartawan,
Susiono berhenti ‘mengoceh’ dan kami diizinkan pulang. Beruntungnya juga, kami
masih menyimpan kuitansi pembayaran dan foto di basecamp sebelum berangkat.
Keesokan hari, berita soal
hilangnya kami ramai di beberapa media massa. Berita-berita yang penuh
kesimpangsiuran. Beberapa media bahkan salah menuliskan nama saya. Kabar kalau
kami adalah pendaki ilegal pun masuk koran. Padahal, fakta yang terjadi adalah
sebaliknya. Membacanya kami hanya bisa tertawa. Kami jadi paham rasanya menjadi
korban manipulasi penguasa dan media.
Meskipun akhir perjalanan ini terasa
menjengkelkan, tetapi bagi saya pelajaran ada di setiap incinya. Seperti kata
si pendaki pertama Gunung Himalaya, Sir Edmund Hillary, “It’s not the mountain we conquer but our
selves.”
kak, jadi kenapa kakak gak bilang aja yang sebenernya waktu itu kak? *kurangklimak* hahaha
Karena lelah dis..
Tangguh banget mba.....salut
Kenapa ts disuruh berbohong..
Karena Argopuro itu luas maka pendaki Yg belum pernah kesana harusnya tidak boleh jika boleh Ke Argopuro SEHARUSNYA bersama teman/kerabat yang sudah pernah minimal 1 kali. Jika belum pernah sama sekali minimal membawa GPS/Peta..
Saya baru saja turun dari sana dan sama kami hanya berdua dan saya berbohong agar tidak menyewa guide dan saya berdua blm pernah kesana.. namun bedanya saya lewat jalur trabas dari Puncak, sialnya saya jalan sudah sore dan sampe cemara lima sudah malam mau gamau jalan terus sampe Danau, eh malah gaketemu. Ketika sampe di simpang saya berpikir kemana jalur ini(?) dan dgn feelling yg bagus kami ngecamp di pintu msk hutan/papan plang perhutani dkt dgn simpang.akhirnya pagi hari saya naik kembali untuk mencari danau dan beruntung saya mendengar suara orang dan parahnya tdk ada petunjuk utk ke Danau tsb
Mas ijin share pengalaman mendaki ini di instagram boleh?
Mas ijin share pengalaman mendaki ini di instagram boleh?