Rss Feed
  1. Cerita dari Annapurna

    Rabu, 26 April 2017


    Ini bukan Tita, ini saya, yang nulis cerita


    Menjelang sore, hujan menderas di sebagian kawasan Annapurna. Tita sudah berjalan lebih dari delapan jam dari Sinuwa, tetapi dia belum juga sampai di Ghandruk—desa tujuannya.
    Padahal, perjalanan dari Sinuwa ke Ghandruk umumnya ditempuh selama tujuh jam saja. Dan Tita adalah pendaki dengan ritme berjalan relatif cepat.
    Tita sendirian. Dia tak bertemu pendaki lain, atau porter, atau bahkan warga. Ia mulai menyadari, mungkin ia salah memilih jalan. Tetapi, ia tak punya pilihan lain selain terus berjalan. Tak ada tempat bertanya. Dan hujan, membuatnya kedinginan.
    Tita datang dari Chile, negara di Selatan Amerika. Usianya 27 tahun. Nama panjangnya Natalia Delorenzo. Tita adalah nama kecil yang melekat hingga kini. Ia berkulit putih, dengan rambut blonde. Di Chile, Tita bekerja sebagai dokter. Tetapi, sebelum berangkat ke Nepal, ia keluar dari pekerjaannya. Sebelum berangkat ke Nepal, ia juga putus dengan kekasihnya.

    Tita terbang ke Nepal sendirian, dan menuju Annapurna Base Camp (ABC) tanpa teman. Di hari ketika ia tersesat, Tita sebenarnya dalam perjalanan pulang. Ia telah menginjakkan kaki di ABC sehari sebelumnya.
    Delapan hari sebelum hari itu, ia naik bus dari Pokhara ke Nayapul. Pokhara adalah kota terbesar kedua setelah Kathmandu—ibukota Nepal. Untuk bisa sampai ke kota itu, ada bus yang berangkat setiap pagi dari Kathmandu. Butuh 8 jam perjalanan dari Katmandu ke Pokhara. Nayapul adalah salah satu pintu masuk ke kawasan konservasi Annapurna. Sebenarnya, Tita bisa saja naik bus ke Kimche, tetapi dia tak tahu informasi itu. Alhasil, ia turun di Nayapul dan berjalan ke Ghandruk. Kimche terletak di antaranya. 
    Sepanjang perjalanan dari Nayapul ke Ghandruk, ada tiga bus yang melewati Tita. Bus yang membawa warga dan para pendaki lainnya. Kalau saja Tita ada di bus itu, ia bisa menghemat sekitar tiga jam perjalanannya.
    Butuh waktu empat jam bagi Tita untuk berjalan dari Nayapul ke Ghandruk. Sementara pendaki yang naik bus sampai Kimche hanya butuh satu jam.
    Tita bermalam di penginapan milik warga di Desa Ghandruk. Pagi hari, ketika ia bangun dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan, Tita sempat menangis sebab merasa kesepian dan kebingungan. "Untuk apa aku ada di sini dan melakukan perjalanan ini sendirian?" pikirnya.
    Tetapi Tita tetap melanjutkan perjalanannya ke Chomrong, sebuah desa dengan ketinggian 2.140 meter di atas permukaan laut (mdpl). Tita harus melewati dua desa lain, Komrong Danda dan Kimrong Kola. Perjalanan dari Ghandruk ke Chomrong ditempuhnya dalam enam jam.
    Horse in love

    Di perjalanan menuju Kimrong Kola, Tita bertemu sepasang suami istri dari Indonesia. Mereka berkenalan dan berbincang, sambil terus berjalan.
    Sebelum tiba di Kimrong Kola, mereka melewati jembatan gantung yang cukup panjang. "Kalau kau mau, aku bisa mengambilkan gambarmu di jembatan itu," kata sang istri, menawarkan bantuan.
    Tita langsung menerimanya. Selama dua hari berjalan dan melewati pemandangan indah, itu kali pertama ia punya kesempatan ikut masuk dalam bingkai kameranya.
    Si suami-istri dari Indonesia

    Ia dan suami-istri dari Indonesia itu kemudian berhenti untuk makan siang di Kimrong Kola. Ketiganya tak henti berbicara. Ada saja pertanyaan yang diutarakan pasangan dari Indonesia itu, dan Tita terus menjawabnya. Bahkan kerap kali ia bercerita tentang hal-hal pribadi kepada dua orang asing itu. Tentang mengapa ia putus dengan pacarnya, misalnya, juga tentang pengalamannya hampir mati ketika mendaki gunung di negara asalnya.
    "Aku pernah hampir mati karena ketinggian. Kepala dan badanku sakit sekali, dan aku muntah-muntah. Kau tau, sebagai dokter, kupikir aku akan mati waktu itu," kenangnya, tetapi sambil tertawa.
    Angin bertiup makin kencang di desa tempat mereka berhenti istirahat. Tetapi, makanan yang dipesan dua teman baru Tita belum juga terhidang. Karena mulai merasa kedinginan, Tita memutuskan jalan terlebih dulu.
    Tita pamit untuk melanjutkan perjalanan

    Jalur pendakian dari Kimrong Kola ke Chomrong termasuk jalur tersulit. Kimrong Kola terletak di tepi sungai, di bawah bukit. Sementara Chomrong ada di atas bukit. Itu artinya, para pendaki harus melewati jalur yang menanjak, melewati banyak tangga dan bebatuan. Dan sialnya, dua desa itu tak berada di satu bukit yang sama. Jadi selain menempuh jalur tanjakan, para pendaki juga harus mengitari bukit.
    Chomrong termasuk desa favorit para pendaki. Ada 15 penginapan di desa itu, jadi mereka tak perlu khawatir kehabisan kamar. Menu makanan di Chomrong juga lebih beragam dibandingkan dengan desa-desa lain. Ada pula beberapa kedai kopi dan roti di desa itu. Pemandangannya pun cukup indah, di pagi hari, puncak Gunung Marchapurche dan Annapurna yang berbalut es terlihat jelas.
    Bukan itu saja, Chomrong adalah desa terakhir yang memberikan air panas gratis untuk mandi. Di desa-desa selanjutnya menuju ABC, harga mandi dengan air panas lebih mahal dari harga kamar per orang.
    Dari Chomrong, ada enam desa lagi yang harus dilewati para pendaki untuk mencapai ABC, Sinuwa, Bamboo, Dovan, Himalaya, Deurali, dan Marchapurche Base Camp (MBC). Setelah Chomrong, Tita berencana menginap di Himalaya.
    Keesokan harinya, saat mulai berjalan, Tita kembali bertemu dengan pasangan asal Indonesia. Keduanya tampak jalan sangat lamban karena jari kaki sang istri kapalan dan lumayan perih dipakai berjalan.
    Tak mau membuat Tita menunggu, dia meminta Tita berjalan saja, tak usah menghiraukannya. Keduanya lalu berjalan sangat pelan dan disalip banyak pendaki lain.
    Suami-istri itu memutuskan menginap di Bamboo. Mereka jalan dari Chomrong jam 7 pagi dan baru tiba di Bamboo pukul 3 sore. Padahal jarak Chomrong-Bambo biasanya ditempuh hanya dalam empat hingga lima jam.
    Di Bamboo, mereka tak mendapat kamar. Ruang makan malam yang kerap menjadi tempat tidur darurat pun sudah penuh. Selain mereka, ada sepasang kekasih dari Equador yang juga kehabisan tempat.
    Lalu, keempatnya kebingungan. Sebab di desa selanjutnya, penginapan juga sudah penuh. Minggu kedua April tahun 2017 ini, ABC memang sedang ramai pengunjung. Dalam sehari, ada sekitar 255 pendaki melapor di pos yang terletak di Chomrong. Kebetulan, awal April lalu bertepatan dengan libur panjang di Thailand. Ada banyak sekali pendaki asal Thailand yang ditemui mereka sepanjang perjalanan.
    "Kalau kalian berempat, kalian bisa tidur di situ, " ujar seorang lelaki sambil menunjuk gubuk berukuran 4x4 meter. "180 rupee per orang, tapi tak ada selimut," katanya.
    Gubuk yang ditunjuk lelaki itu adalah ruangan bekas dapur. Kerak hitam bekas asap masakan dan minyak di dinding tepas dan atapnya tampak sangat jelas. Di atas meja, berjajar puluhan kol-kol yang menghitam, hampir busuk.
    Gubuk bekas dapur tempat suami-istri dari Indonesia menginap di Bamboo

    Lantainya pun hanya tanah. Ada empat kasur di atas tanah yang dilapisi terpal hanya di bagian kasurnya saja. Bau ruangan itu adalah aroma khas tanah dan kayu lembab bercampur kol busuk dan kasur apek. Tetapi keempatnya tak punya pilihan dan mengiyakan saja.
    Mereka berhasil melewati malam di gudang bekas dapur dan melanjutkan perjalanan keesokan harinya. Sepasang kekasih dari Equador—Bellen dan Eduardo menempuh perjalan turun ke Chomrong. Sementara pasangan dari Indonesia masih harus naik terus ke Himalaya dan menginap satu malam di desa itu.
    Semakin ke atas, harga makanan semakin mahal. Di Himalaya, harga nasi goreng pakai telur sekitar Rp40ribu. Padahal, di Ghandruk, hanya Rp25ribu. Tetapi porsinya memang cukup banyak, dua kali porsi nari goreng di Indonesia. Di MBC, satu desa sebelum ABC, harga nasi putih saja Rp30 ribu.
    Tita berhasil tiba di ABC sehari sebelum pasangan dari Indonesia itu tiba di sana. Tanpa sengaja, mereka berpapasan di jalan, saat Tita akan turun, dan pasangan itu masih dalam perjalanan naik ke MBC.
    "Aku berhasil ke ABC, cantik sekali, luar biasa, " ungkap Tita sumringah.
    Annapurna Based Camp berada di ketinggian 4.130 mdpl. Ia lebih tinggi dari puncak Semeru dan Rinjani di Indonesia. Itu baru based camp nya saja, belum puncak Annapurnanya. Puncak Annapurna berada di ketinggian 8.091 mdpl.
    Pagi di ABC

    ABC saja, sudah dipenuhi salju. Sekitar 95 persen jalur dari MBC ke ABC adalah jalur pendakian penuh salju. Banyak pendaki yang tak kuat dengan suhu dingin, memilih menginap di MBC, lalu jalan ke ABC pagi-pagi sekali, menghabiskan sekitar satu jam di sana, berfoto di Plang ABC sebagai penanda, kemudian turun lagi.
    Di hari ketika Tita salah memilih jalan dan sendirian di tengah hutan, cuaca di Annapurna memang sedang buruk. Waktu itu, suami-istri dari Indonesia sedang menginap di Deurali. Mereka menyaksikan hujan es, bukan salju yang lembut, tetapi hujan es yang jika jatuh di kepala, terasa seperti dilempari batu kecil.
    Tita menangis, kebingungan, ketakutan. Tetapi ia tak berhenti berjalan, karena memang tak ada tempat untuk berhenti.
    Setelah sekitar sepuluh jam berjalan, Tita melihat satu rumah warga. Ia memutuskan menghampiri rumah itu. Tak satupun penghuni rumah itu bisa berbahasa Inggris, dan Tita, tak mengerti Bahasa Nepal.
    Untuk mengatakan ia butuh tumpangan, dan lapar, dan menanyakan arah jalan yang benar, Tita memakai bahasa isyarat. Menyadari bahwa Tita adalah pendaki yang tersesat, keluarga itu memberinya tempat untuk bermalam, juga makanan.
    Malam itu, Tita merasa sangat beruntung. Ia tak tahu persis jenis makanan apa yang dimakannya. Yang ia ingat adalah dia makan sangat lahap karena kelaparan.
    Pagi hari, salah satu anak lelaki di keluarga itu mengantarkannya ke Ghandruk. Mereka hanya saling senyum dan tertawa, sebab keduanya tak bisa saling berkomunikasi lewat bahasa lisan. Anak laki-laki itu berjalan sekitar tiga jam untuk mengantarkan Tita. Dia tak pulang sebelum memastikan Tita sudah sampai Ghandruk dengan selamat. Dari Ghandruk, Tita hanya perlu berjalan satu jam lagi untuk tiba di Kimche, lalu melanjutkan naik bus ke Pokhara.
    "Aku tak menyangka aku akan tersesat karena jalurnya sangat jelas dan aku sudah melewati itu sebelumnya, " kata Tita kepada pasangan asal Indonesia sambil menikmati makan malam mereka di Pokhara.
    “Tetapi kau sudah melewatinya, sekarang kita di Pokhara. Well, life experience!” ujar sang istri yang adalah saya.
    Malam itu, Tita ditemani seorang pria dari Prancis yang juga ditemuinya dalam jalur pendakian. Kami bertukar cerita tentang pengalaman mendaki ABC. Dan Tita, berkali-kali memuji kebaikan keluarga yang sudi menampungnya saat ia tersesat.
    Ini TIMS, salah satu bukti izin mendaki, bukan buku nikah
    Senja di Danau Phewa, Pokhara





  2. 2 comments:

    Posting Komentar