Bukan, bukan karena telah menjadi sarjana
yang membuatnya bahagia. Ia pun bingung mencari alasan kebahagiaannya.
Akhir-akhir ini, ia begitu mensyukuri hidupnya yang meskipun sederhana, tapi
membuatnya bahagia. Ia sedang kebingungan bagaimana mengekspresikan
kebahagiaannya.
Ia pun tersenyum menuliskan ini. Sudah lama
sekali ia tak merasa begini. Ia sedang sampai pada titik lupa pada semua rasa
sakit hati.
Sekali lagi, ini bukan karena ia telah
menjadi sarjana, atau sebentar lagi akan diwisuda, atau sudah terbebas dari
pertanyaan “sudah sampai bab berapa?”. Ia bahkan tak begitu puas dengan sidang
meja hijauya. “Flat,” katanya. Tak seperti apa yang ia pikir sebelumnya.
Ia juga tidak sedang jatuh cinta. Kisah
cintanya akhir-akhir ini bahkan berpeluang besar untuk membuatnya tidak
bahagia. Tapi saat ini, ia bahagia.
Katanya, Tuhan begitu baik padanya meski ia
masih sering lupa kalau Tuhan masih ada. Katanya, orang-orang di sekelilingnya
begitu baik padanya meski terkadang ia jahat pada mereka. Katanya, keluarganya
sangat perhatian padanya meski ia sering malas menanyakan kabar mereka.
Ia kembali tersenyum. Bahagia. “Barangkali,
saat merasa bahagia seperti ini adalah waktu yang tepat untuk mati,” pikirnya.
(Rabu, 5 September 2012 | 18.59)
0 comments:
Posting Komentar