Dia memang tidak berencana
menulis catatan yang serius semacam kaleidoskop tentang apa yang terjadi
setahun ini, melainkan hanya catatan ringan tentang perasaan. Oleh sebab bukan
rahasia, dia memutuskan mengunggahnya.
Dia memintaku untuk
menuliskannya. Dia tak keberatan orang-orang membaca apa yang dia pikir dan
rasakan. Dia tak peduli orang itu teman, musuh, kenalan, rekan, keluarga,
pacar, mantan, mantannya pacar, pacarnya mantan, mantannya mantan, atau entah
sesiapa yang tak sengaja singgah. Kepada mereka, dia ingin berkata, silahkan
baca kalau sanggup!
Baginya, ini akhir tahun yang
pilu. Tak jauh beda dengan akhir tahun lalu. Barangkali hal-hal menyedihkan
memang lebih suka datang pada akhir tahun. Sore ini, dia sedang
menghitung-hitung, berapa persen pertumbuhan atau perlambatan kepiluannya pada
akhir tahun ini jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Dia juga tengah memprediksi,
kira-kira kepiluan tahun depan akan tumbuh atau merosot? Faktor apa saja yang
memengaruhi? Apa saja tantangan dan peluang untuk menjadi lebih pilu tahun
depan? Dia paham, menghitung besaran kepiluan tak semudah menghitung
pertumbuhan laba, atau pendapatan, atau hasil investasi. Memprediksi tantangan
dan peluang kepiluan juga tak semudah memprediksi IHSG. Aku pikir dia harus
menelpon analis. Analis hati.
Dia bilang padaku, menulis
seperti ini adalah caranya mengusir kepiluan (yang menulis kan aku?). Bersenang-senang
dengan berbicara menulis yang entah apa adalah cara dia melupakan bahwa
saat ini ada banyak hal yang menyesakkan.
Tadi dia sempat menonton
televisi, tapi siaran langsung tentang ditemukannya puing-puing pesawat AirAsia
membuatnya semakin ingin menangis.
Di perjalanan pulang dari
kantor ke kos-kosan, dia juga sempat singgah ke Karet Bivak, menziarahi makam,
berhenti di makam Pram, berharap mendapat aura ketenangan dari yang sudah mati,
sebab mencari ketenangan dari yang hidup agaknya makin sulit baginya,
akhir-akhir ini.
Duduk di makam, memang
menenangkan, terlebih jika udara Jakarta sedang bagus-bagusnya. Hiraukan klakson
kendaraan yang berisik. Fokus saja pada suara angin, bau tanah, dan cicit
burung, juga wangi rumput usai diterpa gerimis. Ah, dia merasa menjadi seorang introvert hari ini. Ternyata, menjadi introvert cukup menyenangkan, pikirnya. Dia
tak perlu orang lain untuk bisa bersenang-senang.
(saat menuliskan itu aku
menoleh kepadanya, “You need me!” kataku. Dia tak menggubris, maka aku lanjut
menulis)
Namun, dalam perjalanan pulang
dari makam, dia ragu kalau ia telah bersenang-senang. Dia hanya menganggapnya
begitu, tetapi sebenarnya tidak.
Aku sebenarnya tahu dan ingin
sekali menceritakan apa yang menjadi sumber kepiluannya. Sebab aku bisa membaca
pikirannya. Tetapi dia menolak. Memaksaku menyimpan rahasia. “Cukup tulis bahwa
aku sedang pilu, kau tak perlu tulis apa penyebabnya,” ucapnya sedikit berteriak.
Sebagai seorang scorpio yang
dilahirkan untuk menyimpan rahasia, aku bisa apa?
Ada satu hal penting yang ingin
dia katakan pada seseorang atau (mungkin) beberapa orang yang aku tak boleh
sebutkan nama dan identitasnya. Begini katanya:
“Kita memang tidak luput dari
kesalahan. Kau menciptakan kekesalan-kekesalan, yang kau lakukan dengan sadar
atau tidak. Aku juga demikian. Kita begitu sering mengatakan ‘maaf’ usai
melakukan kesalahan. Lalu apa? Apa kita lantas akan baik-baik saja? Aku pikir
tidak. Untuk beberapa hal, maaf tidak cukup ampuh memperbaiki suasana hati yang
sudah terlanjur kau buat buruk.”
Aku melarangnya menulis lebih
panjang tentang itu, aku paham dia sedang emosi, aku hanya kuatir, kata-katanya
akan menyakitkan.
Aku kemudian bertanya padanya, “Apa
yang kau harapkan dari menulis ini?”
Jawabannya hanya satu kata, “Entah!”
Lalu dia pergi tidur. Aku melihat matanya terpejam, tapi aku tahu dia tidak
tidur. Ah, begitulah dia…
kakaaak....
kakaaak....
Adiiiik.... I miss the way we talk about anything. Right now, I wiss you were here.
*wish. Hehe