Ini bukan Tita, ini saya, yang nulis cerita |
Menjelang sore, hujan menderas di
sebagian kawasan Annapurna. Tita sudah berjalan lebih dari delapan
jam dari Sinuwa, tetapi dia belum juga sampai di Ghandruk—desa
tujuannya.
Padahal, perjalanan dari Sinuwa ke
Ghandruk umumnya ditempuh selama tujuh jam saja. Dan Tita adalah
pendaki dengan ritme berjalan relatif cepat.
Tita sendirian. Dia tak bertemu
pendaki lain, atau porter, atau bahkan warga. Ia mulai menyadari,
mungkin ia salah memilih jalan. Tetapi, ia tak punya pilihan lain
selain terus berjalan. Tak ada tempat bertanya. Dan hujan, membuatnya
kedinginan.
Tita datang dari Chile, negara di
Selatan Amerika. Usianya 27 tahun. Nama panjangnya Natalia Delorenzo.
Tita adalah nama kecil yang melekat hingga kini. Ia berkulit putih,
dengan rambut blonde. Di Chile, Tita bekerja sebagai dokter. Tetapi,
sebelum berangkat ke Nepal, ia keluar dari pekerjaannya. Sebelum
berangkat ke Nepal, ia juga putus dengan kekasihnya.
Tita terbang ke Nepal sendirian, dan menuju
Annapurna Base Camp (ABC) tanpa teman. Di hari ketika ia tersesat,
Tita sebenarnya dalam perjalanan pulang. Ia telah menginjakkan kaki
di ABC sehari sebelumnya.
Delapan hari sebelum hari itu, ia
naik bus dari Pokhara ke Nayapul. Pokhara adalah kota terbesar kedua
setelah Kathmandu—ibukota Nepal. Untuk bisa sampai ke kota itu, ada
bus yang berangkat setiap pagi dari Kathmandu. Butuh 8 jam perjalanan
dari Katmandu ke Pokhara. Nayapul adalah salah satu pintu masuk ke
kawasan konservasi Annapurna. Sebenarnya, Tita bisa saja naik bus ke
Kimche, tetapi dia tak tahu informasi itu. Alhasil, ia turun di
Nayapul dan berjalan ke Ghandruk. Kimche terletak di antaranya.
Sepanjang perjalanan dari Nayapul ke
Ghandruk, ada tiga bus yang melewati Tita. Bus yang membawa warga dan
para pendaki lainnya. Kalau saja Tita ada di bus itu, ia bisa
menghemat sekitar tiga jam perjalanannya.
Butuh waktu empat jam bagi Tita
untuk berjalan dari Nayapul ke Ghandruk. Sementara pendaki yang naik
bus sampai Kimche hanya butuh satu jam.
Tita bermalam di penginapan milik
warga di Desa Ghandruk. Pagi hari, ketika ia bangun dan bersiap
untuk melanjutkan perjalanan, Tita sempat menangis sebab merasa
kesepian dan kebingungan. "Untuk apa aku ada di sini dan
melakukan perjalanan ini sendirian?" pikirnya.
Tetapi Tita tetap melanjutkan
perjalanannya ke Chomrong, sebuah desa dengan ketinggian 2.140 meter
di atas permukaan laut (mdpl). Tita harus melewati dua desa lain,
Komrong Danda dan Kimrong Kola. Perjalanan dari Ghandruk ke Chomrong
ditempuhnya dalam enam jam.
Horse in love |
Di perjalanan menuju Kimrong Kola,
Tita bertemu sepasang suami istri dari Indonesia. Mereka berkenalan
dan berbincang, sambil terus berjalan.
Sebelum tiba di Kimrong Kola,
mereka melewati jembatan gantung yang cukup panjang. "Kalau kau
mau, aku bisa mengambilkan gambarmu di jembatan itu," kata sang
istri, menawarkan bantuan.
Tita langsung menerimanya. Selama
dua hari berjalan dan melewati pemandangan indah, itu kali pertama
ia punya kesempatan ikut masuk dalam bingkai kameranya.
Si suami-istri dari Indonesia |
Ia dan suami-istri dari Indonesia
itu kemudian berhenti untuk makan siang di Kimrong Kola. Ketiganya
tak henti berbicara. Ada saja pertanyaan yang diutarakan pasangan
dari Indonesia itu, dan Tita terus menjawabnya. Bahkan kerap kali
ia bercerita tentang hal-hal pribadi kepada dua orang asing itu.
Tentang mengapa ia putus dengan pacarnya, misalnya, juga tentang
pengalamannya hampir mati ketika mendaki gunung di negara asalnya.
"Aku pernah hampir mati karena
ketinggian. Kepala dan badanku sakit sekali, dan aku muntah-muntah.
Kau tau, sebagai dokter, kupikir aku akan mati waktu itu,"
kenangnya, tetapi sambil tertawa.
Angin bertiup makin kencang di desa
tempat mereka berhenti istirahat. Tetapi, makanan yang dipesan dua
teman baru Tita belum juga terhidang. Karena mulai merasa
kedinginan, Tita memutuskan jalan terlebih dulu.
Tita pamit untuk melanjutkan perjalanan |
Jalur pendakian dari Kimrong Kola ke
Chomrong termasuk jalur tersulit. Kimrong Kola terletak di tepi
sungai, di bawah bukit. Sementara Chomrong ada di atas bukit. Itu
artinya, para pendaki harus melewati jalur yang menanjak, melewati
banyak tangga dan bebatuan. Dan sialnya, dua desa itu tak berada di
satu bukit yang sama. Jadi selain menempuh jalur tanjakan, para
pendaki juga harus mengitari bukit.
Chomrong termasuk desa favorit para
pendaki. Ada 15 penginapan di desa itu, jadi mereka tak perlu
khawatir kehabisan kamar. Menu makanan di Chomrong juga lebih beragam
dibandingkan dengan desa-desa lain. Ada pula beberapa kedai kopi dan
roti di desa itu. Pemandangannya pun cukup indah, di pagi hari,
puncak Gunung Marchapurche dan Annapurna yang berbalut es terlihat
jelas.
Bukan itu saja, Chomrong adalah
desa terakhir yang memberikan air panas gratis untuk mandi. Di
desa-desa selanjutnya menuju ABC, harga mandi dengan air panas lebih
mahal dari harga kamar per orang.
Dari Chomrong, ada enam desa lagi
yang harus dilewati para pendaki untuk mencapai ABC, Sinuwa, Bamboo,
Dovan, Himalaya, Deurali, dan Marchapurche Base Camp (MBC).
Setelah Chomrong, Tita berencana menginap di Himalaya.
Keesokan harinya, saat mulai
berjalan, Tita kembali bertemu dengan pasangan asal Indonesia.
Keduanya tampak jalan sangat lamban karena jari kaki sang istri
kapalan dan lumayan perih dipakai berjalan.
Tak mau membuat Tita menunggu, dia
meminta Tita berjalan saja, tak usah menghiraukannya. Keduanya lalu
berjalan sangat pelan dan disalip banyak pendaki lain.
Suami-istri itu memutuskan menginap
di Bamboo. Mereka jalan dari Chomrong jam 7 pagi dan baru tiba di
Bamboo pukul 3 sore. Padahal jarak Chomrong-Bambo biasanya ditempuh
hanya dalam empat hingga lima jam.
Di Bamboo, mereka tak mendapat
kamar. Ruang makan malam yang kerap menjadi tempat tidur darurat pun
sudah penuh. Selain mereka, ada sepasang kekasih dari Equador yang
juga kehabisan tempat.
Lalu, keempatnya kebingungan.
Sebab di desa selanjutnya, penginapan juga sudah penuh. Minggu kedua
April tahun 2017 ini, ABC memang sedang ramai pengunjung. Dalam
sehari, ada sekitar 255 pendaki melapor di pos yang terletak di
Chomrong. Kebetulan, awal April lalu bertepatan dengan libur panjang
di Thailand. Ada banyak sekali pendaki asal Thailand yang ditemui
mereka sepanjang perjalanan.
"Kalau kalian berempat, kalian
bisa tidur di situ, " ujar seorang lelaki sambil menunjuk gubuk
berukuran 4x4 meter. "180 rupee per orang, tapi tak ada
selimut," katanya.
Gubuk yang ditunjuk lelaki itu
adalah ruangan bekas dapur. Kerak hitam bekas asap masakan dan
minyak di dinding tepas dan atapnya tampak sangat jelas. Di atas
meja, berjajar puluhan kol-kol yang menghitam, hampir busuk.
Gubuk bekas dapur tempat suami-istri dari Indonesia menginap di Bamboo |
Lantainya pun hanya tanah. Ada
empat kasur di atas tanah yang dilapisi terpal hanya di bagian
kasurnya saja. Bau ruangan itu adalah aroma khas tanah dan kayu
lembab bercampur kol busuk dan kasur apek. Tetapi keempatnya tak
punya pilihan dan mengiyakan saja.
Mereka berhasil melewati malam di
gudang bekas dapur dan melanjutkan perjalanan keesokan harinya.
Sepasang kekasih dari Equador—Bellen dan Eduardo menempuh perjalan
turun ke Chomrong. Sementara pasangan dari Indonesia masih harus naik
terus ke Himalaya dan menginap satu malam di desa itu.
Semakin ke atas, harga makanan
semakin mahal. Di Himalaya, harga nasi goreng pakai telur sekitar
Rp40ribu. Padahal, di Ghandruk, hanya Rp25ribu. Tetapi porsinya
memang cukup banyak, dua kali porsi nari goreng di Indonesia. Di
MBC, satu desa sebelum ABC, harga nasi putih saja Rp30 ribu.
Tita berhasil tiba di ABC sehari
sebelum pasangan dari Indonesia itu tiba di sana. Tanpa sengaja,
mereka berpapasan di jalan, saat Tita akan turun, dan pasangan itu
masih dalam perjalanan naik ke MBC.
"Aku berhasil ke ABC, cantik
sekali, luar biasa, " ungkap Tita sumringah.
Annapurna Based Camp berada di
ketinggian 4.130 mdpl. Ia lebih tinggi dari puncak Semeru dan
Rinjani di Indonesia. Itu baru based camp nya saja, belum puncak
Annapurnanya. Puncak Annapurna berada di ketinggian 8.091 mdpl.
Pagi di ABC |
ABC saja, sudah dipenuhi salju.
Sekitar 95 persen jalur dari MBC ke ABC adalah jalur pendakian penuh
salju. Banyak pendaki yang tak kuat dengan suhu dingin, memilih
menginap di MBC, lalu jalan ke ABC pagi-pagi sekali, menghabiskan
sekitar satu jam di sana, berfoto di Plang ABC sebagai penanda,
kemudian turun lagi.
Di hari ketika Tita salah memilih
jalan dan sendirian di tengah hutan, cuaca di Annapurna memang
sedang buruk. Waktu itu, suami-istri dari Indonesia sedang menginap
di Deurali. Mereka menyaksikan hujan es, bukan salju yang lembut,
tetapi hujan es yang jika jatuh di kepala, terasa seperti dilempari
batu kecil.
Tita menangis, kebingungan,
ketakutan. Tetapi ia tak berhenti berjalan, karena memang tak ada
tempat untuk berhenti.
Setelah sekitar sepuluh jam
berjalan, Tita melihat satu rumah warga. Ia memutuskan menghampiri
rumah itu. Tak satupun penghuni rumah itu bisa berbahasa Inggris, dan
Tita, tak mengerti Bahasa Nepal.
Untuk mengatakan ia butuh tumpangan,
dan lapar, dan menanyakan arah jalan yang benar, Tita memakai bahasa
isyarat. Menyadari bahwa Tita adalah pendaki yang tersesat, keluarga
itu memberinya tempat untuk bermalam, juga makanan.
Malam itu, Tita merasa sangat
beruntung. Ia tak tahu persis jenis makanan apa yang dimakannya.
Yang ia ingat adalah dia makan sangat lahap karena kelaparan.
Pagi hari, salah satu anak lelaki
di keluarga itu mengantarkannya ke Ghandruk. Mereka hanya saling
senyum dan tertawa, sebab keduanya tak bisa saling berkomunikasi
lewat bahasa lisan. Anak laki-laki itu berjalan sekitar tiga jam
untuk mengantarkan Tita. Dia tak pulang sebelum memastikan Tita
sudah sampai Ghandruk dengan selamat. Dari Ghandruk, Tita hanya perlu
berjalan satu jam lagi untuk tiba di Kimche, lalu melanjutkan naik
bus ke Pokhara.
"Aku tak menyangka aku akan
tersesat karena jalurnya sangat jelas dan aku sudah melewati itu
sebelumnya, " kata Tita kepada pasangan asal Indonesia sambil
menikmati makan malam mereka di Pokhara.
“Tetapi kau sudah melewatinya,
sekarang kita di Pokhara. Well, life experience!” ujar sang
istri yang adalah saya.
Malam itu, Tita ditemani seorang
pria dari Prancis yang juga ditemuinya dalam jalur pendakian. Kami
bertukar cerita tentang pengalaman mendaki ABC. Dan Tita,
berkali-kali memuji kebaikan keluarga yang sudi menampungnya saat ia
tersesat.
Ini TIMS, salah satu bukti izin mendaki, bukan buku nikah |
Senja di Danau Phewa, Pokhara |
ulasannya menarik...good
Togel HK
Togel SGP
Togel Resmi
Togel Online
Toto Online
Togel Online Terbesar