Rss Feed
  1. Mari Lindungi Anak dari Tayangan Televisi

    Minggu, 06 September 2009

    Oleh: Wan Ulfa Nur Zuhra dan Khairil Hanan Lubis


    Peran televisi sebagai sarana hiburan murah meriah tak perlu diragukan dan dipertanyakan lagi keandalannya.

    Secara teknis, pesawat televisi sangat mudah dioperasikan sehingga anak-anak sekalipun mampu mengoperasikannya tanpa harus menempuh pelajaran khusus. Hanya dengan menekan tombol atau mengoperasikan remote control, segala jenis tayangan mulai dari yang serius sampai yang santai terhidang di depan mata.

    Semakin lama, popularitas media televisi pun semakin fantastik. Populasinya berkembang kian pesat. Setiap malam, ia muncul pada setiap rumah dan mampu menghimpun para penghuninya untuk duduk santai di depannya sambil istirahat.

    Televisi merupakan medium komunikasi massa yang paling akrab dengan masyarakat karena kemampuannya mengatasi faktor jarak, ruang, dan waktu. Pesan-pesan yang disampaikan televisi juga mudah diserap oleh pemirsa karena tampilannya yang berupa audiovisual. Apalagi di Indonesia, negara yang tingkat buta hurufnya masih tinggi, media televisi memegang peran besar dalam penyebaran informasi.

    Konsumen terbesar media televisi sendiri adalah anak-anak. Sebagai konsumen terbesar dan bersifat heterogen, sudah sepatutnya anak-anak mendapat perhatian serius. Apalagi ditinjau dari segi ekonomi, komunitas anak-anak bukanlah penonton pasif sehingga layak menjadi target siaran dan eksistensinya harus diperhitungkan.

    Pada umumnya anak-anak senang sekali menonton film-film yang menampilkan aksi atau film-film yang menampilkan gerakan-gerakan cepat disertai oleh efek suara yang dahsyat. Semakin cepat gerakan-gerakan yang ditampilkan film, semakin tinggi tingkat antusias anak-anak menontonnya. Itulah sebabnya mereka senang sekali menonton film-film kartun yang banyak menampilkan gerakan-gerakan spektakuler. Hal inilah yang dapat memacu perilaku agresif anak-anak (Huton at al., 1990)
    Ada dua umpan yang dilempar oleh produser agar film produksinya laku ditonton. Seksualitas dan kekerasan.

    Orang tua cenderung mencekal yang pertama, tapi jarang atau tidak sama sekali untuk yang kedua. Padahal "bahayanya" tak kalah serius.

    Film-film yang menampilkan kekerasan, hidup bebas, menebarkan ketakutan atau unrealistic programs tentu sangat berpotensi merusak karakter anak-anak, termasuk sebagian film kartun yang juga menampilkan kekerasan dan ketakutan yang dikemas dalam bentuk komedi.

    Patut dicermati bahwa anak-anak biasanya cenderung senang menonton tayangan komedi apapun bentuknya karena komedi dikemas dalam bentuk yang sangat menarik perhatian mereka. Dalam hal ini, komedi misteri biasanya ditampilkan dengan bumbu humor, sehingga efek kengeriannya berkurang. Tetapi, efek kerusakan penalaran lah yang ditimbulkan dan itu akan lebih parah. Penipuan memang seringkali datang laksana malaikat terang.

    Pada kasus lain, roh halus biasanya diposisikan sebagai makhluk gaib yang menolong manusia dari tindakan kejahatan dengan berperan sebagai peri atau bidadari yang banyak membumbui sinetron kita. Mungkin awalnya bertujuan untuk menggugah emosional orang-orang yang terpinggirkan. Bahwa masih ada 'makhluk' yang peduli dengan nasib mereka yang terpuruk karena perbuatan sesamanya. Sungguh ironis, ketika manusia tak lagi menemukan jalan keluar dalam permasalahan hidupnya, maka anak-anak akan menganggap roh halus dapat menjadi penolong alternatif yang setia dan tangguh.

    Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi terhadap pertumbuhan dan perkembangan mental anak jika tokoh-tokoh yang menjadi idola dan panutan mereka adalah makhluk-makhluk halus. Tidak lagi Bung Karno, Bung Hatta, atau tokoh-tokoh hebat negeri ini lainnya.

    Disinilah letak bahayanya tontonan sejenis ini, menuntun anak-anak kepada pemahaman yang keliru tentang kenyataan hidup. Jika persepsi keliru tersebut terus terpatri dan mengendap di dalam pikiran anak-anak, hidup mereka akan semakin jauh dari rasionalitas dan realitas hidup yang sebenarnya.

    Tidak hanya kekerasan, pornografi atau misteri, tayangan-tayangan sinetron kita juga semakin memuakkan dan tidak berkualitas. Isinya hanya manajemen konflik antar tokoh, mengumbar hedonisme, bahkan mendoktrin kita untuk menerima dengan gamblang pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa.

    Doktrin sinetron yang tanpa ampun tersebut pasti juga menyerang anak-anak kita yang masih dibawah umur karena jam tayangnya yang merupakan prime time sehingga jutaan anak di seluruh Indonesia, secara bersamaan disiksa moral dan mentalnya dengan pengaruh-pengaruh atau doktrin yang disebarkan sinetron yang hanya mementingkan rating. Padahal, rating hanya mementingkan profit tanpa memikirkan tanggung jawab moral kepada penonton di bawah usia. Media televisi seolah lupa salah satu fungsi media yaitu memberi edukasi.

    Hari Anak Nasional yang jatuh 23 Juli lalu tentunya bisa menjadi refleksi bagi kita semua agar mewaspadai ancaman tayangan televisi terhadap anak. Mengembalikan fungsi keluarga sesuai nilai-nilai moral dan agama tentu bisa menjadi jalan keluar dari masalah ini.

    Keluarga memiliki peran yang besar disamping sekolah dalam memberikan pengetahuan tentang nilai baik dan buruk kepada anak-anaknya. Orang tua harus ketat mengawasi tontonan bagi anak seperti harus selalu ada yang mendampingi anak ketika menonton televisi atau yang lebih ekstrim membatasi tayangan-tayangan tertentu saja yang boleh ditonton anak.

    Pemerintah juga tentu bisa mengubah keadaan dengan melakukan pembatasan atau dengan menghadirkan satu jenis sinetron yang edukatif, informatif dan menghibur. Terus terang, sangat dimaklumi jika kita merindukan sinetron yang baik seperti Keluarga cemara. Yang mengajarkan kepada kita kesahajaan, kesabaran, dan kebersamaan dalam keluarga. Selamat Hari Anak!

    (dimuat di Harian Global, 25 July 2009)

  2. 0 comments:

    Posting Komentar